Sabtu, 29 Juni 2013

HANYA KARENA CINTA

Perkawinan dua insan, laki-laki dan perempuan adalah satu kebutuhan bagi kelangsungan hidup manusia. Walau pada kenyataannya, tidak sedikit manusia menjalani hidup dalam kesendirian, tanpa perkawinan sepanjang masa.

Mereka yang memutuskan untuk hidup berpasangan, sudah pasti menginginkan perkawinan mereka berjalan dengan baik, langgeng maju bersama cinta menuju hari tua, kemudian berakhir dengan bahagia. Tetapi tak semua pasangan yang dikawinkan dalam janji pernikahan berjalan dengan mulus. Dipastikan setiap pasangan yang telah resmi menjadi pasangan suami istri akan mengalami cobaan.

Mereka dihadapkan pada berbagai masalah, baik masalah sepele maupun masalah besar. yang berusaha menggangu perkawinan itu. Sebahagian perkawinan itu selamat sampai tujuan, sebagian lainnya harus berakhir dengan kepedihan, lalu meratapi perkawinan yang tumbang diterjang badai, kemudian jatuh berantakan  dan hancur berserakan.

Tiominar ... demikian nama seorang wanita yang mengharapkan perkawinan dengan suaminya selalu dalam kebahagiaan, tetapi harus menerima kenyataan, karena perkawinannya keluar dari cita-cita semula.

Tiga bulan setelah ikatan perkawinan diresmikan, Tiominar telah mengalami tekanan yang luar biasa dari suami yang dia cinta dengan sepenuh hati. Tiga puluh tahun usia perkawinan mereka, hampir setiap hari, ia di caci-maki, ditampar, dipukul, bahkan ditendang oleh suaminya. Semua peristiwa itu ia terima dengan tabah.

Tak terhitung masukan berupa ajakan, perintah bahkan cemoohan ia terima dari saudara, sahabat bahkan dari orang yang sama sekali tak ia kenal, menyarankan Tiominar untuk meninggalkan suaminya. Semua itu ia tepis dengan tidak menjawab semua saran bernada seperti itu. Dia tetap pada pendirian, berpegang teguh pada janji perkawinan, “SETIA DALAM SUKA MAUPUN DUKA, TAK BERCERAI KECUALI MAUT YANG MEMISAHKAN”.

Penderitaan Tiominar, yang ia alami hampir disepanjang usia perkawinannya, ia bebaskan hanya dengan seuntai do’a ;

“Aku tahu Tuhan, Engkau merestui pilihanku karena Engkau tahu aku kuat dengan semua perlakuan suamiku”. 

Hanya dengan seuntai do’a itu, Tiominar menjalani hidup perkawinannya selama tiga puluh tahun. Selama itu pula, Tiominar mengalami siksa yang luar biasa, dari suami yang dia cinta dengan segenap jiwa dan raga.

Derita Tiominar tidak berhenti sebatas tindak kekerasan berupa benturan pisik yang telah dilakukan suaminya. Selama lima tahun ia dihadapkan kepada derita baru, melayani suami yang hidup dalam ketidak berdayaan. Stroke total, mengharuskan suaminya hidup terbujur kaku sepanjang masa di tempat tidur. 

Selama lima tahun pula, suami Tiominar hanya mampu berkomunikasi melalui desah nafas dan linangan air mata saja. Tampaknya suami Tiominar menyesali semua perbuatan yang telah dia lakukan terhadap dirinya yang luar biasa tangguh itu. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, waktu tak mungkin dikembalikan lagi.

Ditahun ketiga puluh, penderitaan Tiominar diatas perkawinannya dengan seorang pria tak bernurani, kemudian berhenti. Di usia lima puluh dua tahun, suami yang dia cinta akhirnya pergi untuk selamanya akibat stroke total, yang diderita suaminya selama lima tahun. Tiominar melepas kepergian suaminya dengan linangan air mata, pertanda cinta luar biasa. Tiominar sungguh menjadi wanita yang setia, mengabdi pada suaminya dengan memberikan pelayanan penuh tanpa batas.

Sepeninggal suaminya, Tiominar tergolong menjadi wanita paling berbahagia di dunia. Sembilan putera dan puterinya, saling berebut agar Tiominar mau tinggal di rumah anak atau menantunya. Melimpah kasih sayang kemudian ia terima dari anak dan menantu, serta dari cucu-cucunya. Bahkan sanak saudara juga menawarkan kasih sayang untuk Tiominar. 

Di usianya yang ke sembilan puluh empat, Tiominar kembali pada Sang Khalik dengan senyum tersungging di sudut bibirnya, pertanda ia pergi penuh dengan kebahagiaan.


Tindak kekerasan seringkali mewarnai perjalanan hidup rumah tangga. Kebanyakan dari peristiwa itu, dilakukan kaum pria kepada istrinya. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi kaum pria, untuk tidak memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Perempuan dipilih untuk dijadikan istri, tentu alasannya adalah cinta. Cukup aneh jika pada zaman digital ini, dikatakan sebuah perkawinan terjadi bukan karena cinta.

Cinta memang butuh pengorbanan, tetapi tidak untuk dijadikan korban ... !!!

CATATAN :

Cerita ini fiktif. Nama dan tempat serta hal-hal yang dianggap mirip dengan kehidupan nyata, hal itu terjadi dengan sendirinya. Tidak ada maksud untuk menyindir ataupun berusaha untuk menyakiti hati siapapun. Semoga artikel ini bermanfaat, agar setiap keluarga dapat memaknai kesetiaan dan kebahagiaan dengan arti yang sesungguhnya.


SALAM GEMILANG.


Selasa, 25 Juni 2013

JANGAN TINGGALKAN AKU

Pasca pernikahannya, Johan merasa bahwa ia sungguh memperhatikan Amara istrinya, dan menurutnya ia mencintai istri dan juga anak-anaknya. Baginya Amara adalah wanita yang baik dan bukan tipe wanita yang suka berlebihan.


Johan berpendapat, dalam rumah tangga ia tidak pernah ribut dengan istrinya. Jika hanya ribut karena masalah sepele, baginya hal itu biasa saja. Kalau ribut karena meletakkan pakaian kotor dengan sembarangan, bertengkar karena membuat sepatu berserakan di rak, baginya peristiwa itu bukanlah hal yang patut untuk dikhawatirkan.


Bagi Johan semuanya baik-baik saja, sebab sekalipun hati istrinya dalam suasana yang terburuk, istrinya tetap mengerjakan ketika dimintai tolong oleh Johan. Lalu ketika istrinya hanya cemberut ketika Johan lupa pada janji untuk menghantarnya ke pasar, bagi Johan hal itu wajar-wajar saja.


Satu ketika, Amara membelikan arloji bermerk sebagai hadiah ulang tahun bagi Johan, hasil menabung sedikit demi sedikit sejak beberapa tahun silam. Tetapi Johan menolak menerima hadiah itu dengan alasan, mengapa istrinya menitipkan uang kepada temannya hanya untuk membeli arloji itu.


Johan merasa dipermalukan sebagai laki-laki, karena temannya terpaksa pura-pura bertanya kepada Johan, yang mana arloji yang paling bagus diantara dua pilihan, padahal sebenarnya arloji itu untuknya. Johan tidak pernah berpikir bahwa istrinya Amara, hanya berusaha untuk menyenangkan hati Johan. Ia tidak pernah berpikir bahwa istrinya hendak membuat kejutan untuk Johan. Tentu saja Amara sangat kecewa dengan sikap Johan.


Kehidupan rumah tangga Johan dan Amara, bukanlah pasangan muda yang banyak mendapat harta dari orangtua sebagai warisan. Mereka merintis segalanya dari titik nol, walau sesungguhnya mereka masih tinggal seatap dengan orang tua Johan. Namun patut disyukuri, tambah hari secara perlahan status keuangan mereka terus meningkat, hingga Johan kemudian diterima bekerja di perusahaan swasta nasional.


Tujuh tahun sudah usia pernikahannya dengan Amara, Johan merasa rumah tangga mereka baik-baik saja, walau sebenarnya berulangkali Amara meminta kepada Johan untuk tinggal terpisah dari orang tua, karena cekcok yang sering terjadi antara Amara dengan kedua orang tua dan adik-adik Johan. Tetapi Johan tidak pernah sungguh-sungguh menjadikan itu sebagai perhatian. Bagi Johan, rumah belumlah terlalu penting sebab masih bisa tinggal bersama orang tua.


Johan adalah anak ketiga dari lima bersaudara dan laki-laki satu satunya. Sementara Amara istrinya  yatim piatu, hanya berdua dengan adiknya.


Walaupun telah bekerja di perusahaan ternama, gaji Johan habis untuk membayar cicilan pinjaman bank, cicilan kredit mobil, membantu biaya sekolah adiknya dan memberi ibunya setiap bulan sebagai bakti kepada orang tua, karena Johan bisa bekerja di perusahaan ternama itu berkat jasa orang tuanya.


Sementara itu Amara istri Johan menekuni usaha menjahit, hasilnya hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga, termasuk orangtua dan adik-adik Johan, ditambah biaya internet, listrik, arisan dan lain sebagainya. Menurut Johan istrinya tidak pernah marah, walau ia tidak mampu memberikan sebagian uang hasil gaji, seperti Johan memberi sebagian gajinya kepada ibunya secara rutin.


Tahun berlalu dan berganti dengan yang baru,  Johan merasa rumah tangganya tampak berjalan baik-baik saja. Johan tidak menyadari, di dalam rumah tangganya sedang terjadi masalah, yang tidak dia ketahui karena mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan jarang ada di rumah.


Pada setiap kesempatan, Amara selalu mengutarakan isi hatinya kepada Johan saat menjelang tidur, bercerita dengan suara perlahan sambil berurai air mata. Amara mengeluhkan ibu Johan, ayah dan juga adik Johan. Tetapi Johan hanya mengusap kepala Amara, dan minta untuk bersabar. Sungguh, Johan tidak pernah benar-benar mendengarkan Amara. Johan beranggapan, hal itu bukanlah masalah yang besar.


Dilain pihak, ketika Amara sedang tidak di rumah, ibu Johan justru mengambil kesempatan dan mengeluhkan Amara kepada Johan. Ibu Johan menguraikan berbagai keburukan Amara, mengeluhkan ini dan itu, lalu meminta Johan untuk menasehati Amara istrinya. Johan hanya menjawab, “Ya bu ... Nanti aku kasih tau”


Rupanya Johan lebih mendengar ibunya. Dan saat kesempatan untuk bicara ada, Johan meminta istrinya supaya bisa bersikap lebih baik pada orang tua dan adik-adiknya. Mendengar itu Amara menjadi sedih, lalu bercerita sambil menangis; “ Papi gak di rumah, papi gak tau gimana ibu, papi gak tau gimana ayah, papi gak tau gimana adik papi, mami udah gak sanggup pi, mami pengen tinggal di rumah sendiri”. Kembali Johan mengusap kepala istrinya, lalu meminta untuk bersabar.


Jika Johan mau jujur, ia tau istrinya berkata yang sesungguhnya. Amara berkata apa adanya tentang kedua orang tua Johan dan juga adik-adiknya. Johan tau, adiknya yang sudah berkeluarga saja sering tidur dan makan di rumah bersama anak-anak bahkan suaminya. Kadang jika akan pulang ke rumahnya, Johan tau adiknya itu juga membawa beras atau yang lainnya.


Tentu saja adik Johan meminta dari ibunya, bukan dari Amara istrinya. Johan tau betul, istrinya berjuang dengan sangat hemat untuk mencukupi semua kebutuhan mereka beserta kedua orang tua dan adik-adik Johan.


Johan mulai menyadari kalau Amara istrinya sudah mulai lelah, baik dari sisi psikis maupun sisi financial. Johan mulai menyadari bahwa uang yang mereka hasilkan hanya habis berputar disekitar situ saja. Mereka bahkan tidak memiliki tabungan dan belum punya rumah sendiri. Adapun mobil, masih dalam status cicilan dan ruko kecil tempat istrinya menjalankan usaha menjahit. Hanya itu. Johan sebagai kepala keluarga, belum berbuat apapun terhadap anak dan istrinya.


Akhirnya hal buruk itupun benar-bernar dimulai. Suatu ketika, ibu Johan membuka pembicaraan tentang uang bulanan yang selalu ia terima dari Johan. Ibunya bicara kepada Johan dengan suara melengking;  “Tolong bilang ke istrimu jangan dibahas-bahas lagi tentang uang bulanan itu. Sekarang ini, gak ada lagi orang tua yang bisa bantu anaknya masuk kerja ke perusahaan sebagus itu. Kamu itu beruntung.” Johan menjawab ibunya ; “ Amara gak pernah bilang apa-apa ke aku bu”. Tetapi ibunya terus berteriak; “Kamu kasi berapapun gak akan bisa balas apa yang udah orang tua berikan.” ... “Bu, Amara gak pernah marah atau iri kok” Jawab Johan. Tetapi ibunya terus mengucapkan kata-kata dengan suara keras.


Saat keributan itu terjadi, Amara sedang di kamar menyiapkan pakaian untuk Johan, dan akhirnya keluar karena mendengar suara ribut dan berkata ; “Ada apa ? “. Johan menjelaskan apa saja yang telah ibunya katakan, sementara itu ibu Johan terus bicara, hingga akhirnya Amara menjawab; “Memang ibu gak sayang pada Amara”. Kemudian Amara langsung masuk ke dalam kamar meninggalkan Johan dan ibunya. Kemudian Johan berkata ;  “Kalau memang ibu gak suka lagi aku di rumah ini, maka aku bersama anak dan istri akan pergi.” Ibu Johan tertegun setelah Johan menjawab.


Pada satu kesempatan, Amara istri Johan dijemput temannya dan pergi keluar bersama Oscar putera mereka. Menjelang sore Amara dan Oscar pulang dan langsung menuju kamar. Amara terkejut hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan, ketika ia menemukan sepucuk surat terletak di atas tempat tidur. Surat itu dari ibu Johan, yang isinya ; “ Mulai hari ini saya tidak kenal kamu lagi. Saya memang tidak pernah menyayangi kamu dan kamu bukan menantu saya lagi “.


Amara memotret surat itu dan mengirimkannya kepada Johan lewat BBM. Johan sangat terkejut membaca surat itu, rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Istri Johan langsung pergi ke luar bersama Oscar anak mereka.


Dikantornya, Johan sangat tidak tenang pasca membaca surat ibunya kepada Amara, yang ia dapatkan melalui BBM. Johan bisa merasakan, jika wanita lain mungkin istrinya akan kembali ke rumah orang tuanya. Namun Amara pulang kemana. Adiknya saudara satu-satunya, tinggal di kota lain yang jaraknya sangat jauh. Menimbang beratnya derita yang ditanggung istrinya, tanpa disadari Johan menitikkan air mata. Ingin segera pulang, namun pekerjaan kantor masih sangat banyak. Akhirnya, masalah itu berlalu begitu saja dari pikiran Johan, hingga jam kantor usai.


Sesampainya di rumah, Johan tidak menemukan istrinya. Johan menelepon dan menanyakan dimana Amara berada. Johan membujuk Amara agar pulang, dan menjelang malam Amara dan Oscar putra mereka tiba di rumah.


Malam itu juga, Johan dan Amara istrinya serta kedua orang tua Johan berkumpul, untuk membicarakan permasalahan yang terjadi. Johan yang menyadari ibunya adalah sumber permasalahan, memulai pembicaraan dengan berpanjang-panjang. Tampaknya ibu Johan enggan untuk mengakui, bahwa permasalahan itu berawal darinya. Tentu saja ego orang tua muncul dan sudah pasti tidak akan mau jika harus mengaku salah di hadapan anak dan menantunya. Amara dan ayah Johan diam saja, tetapi ibu Johan terus berbicara ini dan itu serta banyak hal lain yang semuanya hanya untuk memojokkan Amara istri Johan.


Akhirnya Johan bertanya ;  “Lalu, ibu maunya apa ?”. Ibu Johan menjawab masih saja sekitar memojokkan Amara. Ibu Johan bilang, supaya istri Johan merubah sifatnya. Ibu Johan tidak akan makan, karena istri Johan tidak rela, tidak ikhlas. Johan kemudian bilang; “ Kalau ibu tidak mau makan, itu berarti ibu tidak menghargai hasil jierih payahku. Lebih baik aku gak usah tinggal di rumah ini lagi ”.


Ibu Johan kembali bilang, “ Aku gak makan karena istrimu gak rela. Istrimu harus bersikap baik kepada adik-adikmu. Dan jangan dibahas lagi masalah uang bulanan, aku malu jika orang lain tau. Dan kalau kamu sampai pergi meninggalkan rumah ini, aku tidak akan mau menginjakkan kakiku dirumahmu sebagus atau semewah apapun rumahmu “.


Saat itulah Johan melihat Amara istrinya meneteskan airmata. Airmata itu trus saja mengalir tak tertahan lagi oleh Amara. Meski berusaha menangis tanpa suara, tampak sekali bahwa ia merasa sedih, terpukul dan kecewa serta tersiksa bercampur menjadi satu.


Ayah Johan yang sedari tadi diam saja akhirnya buka suara dan berkata, kalau mereka akan sangat malu jika Johan beserta anak dan istri sampai pergi meninggalkan rumah. Johan menanggapi ucapan ayahnya bahwa semua keputusan ada ditangan ibunya. Lalu ibu Johan bilang ;  “ Jangan pergi “.


Johan mengira kalau masalah malam itu telah terlupakan. Setahun lebih waktu telah berlalu, Johan berpikir semua kembali baik-baik saja. Tapi ternyata Johan salah. Amara istri Johan berubah menjadi lebih pendiam, lebih sering tiduran dikamar atau main dengan Oscar anak mereka. Amara jarang sekali tertawa, bercanda seperti dulu. Johan menyangka, Amara begitu sebagai upaya untuk berusaha menjadi lebih baik.


Amara tidak pernah lagi merengek minta dibuatkan rumah, tidak pernah minta di antar ke supermarket, arisan, atau mengajak keluar saat weekend. Bahkan jika Johan mengajak pergi ke kondangan Amara menjawab, “ Papi saja ya .. mami capek, papi saja ya .. mami ngantuk,  papi saja ya .. mami masih ada kerjaan ”. Dan masih banyak alasan lain untuk menolak, agar tidak pergi keluar bersama Johan.  Johan masih berpikir memang begitu keadaannnya.


Johan bahkan tidak menyadari jika istrinya menjadi lebih kurus, matanya sembab karena berusaha menyembunyikan kesedihan dari Johan. Suatu hari Oscar putra Johan pernah berkata ; “ Kita kalau mau makan selalu bilang, makan yah, makan bu, makan oma, makan opa, makan aunty, tapi kok Oscar gak pernah denger ibu bilang gitu ya yah..? ”.


Aku tersentak dan berkata berusaha tersenyum ;  “ Ibu kan sekarang gak mau bicara kuat-kuat sayang, mungkin waktu ibu makan lagi gak ada siapa-siapa “. Oscarpun tersenyum, mengangguk. Tapi Johan jadi terpikir dengan kata-kata anaknya. Selesai makan Johanpun langsung masuk ke kamar menghampiri istrinya yang memang lagi tidak enak badan, dan menanyakan apa ia sudah makan. Lalu bertanya mau dibelikan apa. Amara hanya tersenyum dan menggeleng lalu berkata ; “ Mami tidak mau apa-apa, mami sudah kenyang “.


Bebera bulan berlalu, kota tempat Johan dan keluarga tinggal dituruni hujan yang sangat lebat. Memang saat itu musim hujan sedang berlangsung. Tapi hari itu betul-betul lebat bahkan beberapa pohon tua di area perkantoran tempat Johan bekerja sampai tumbang. Johan berusaha menelepon istrinya namun tidak di angkat. Akhirnya Johan menelpon ke ruko dan menanyakan ke karyawan apakah Amara ada disana, dan karyawan menjawab ; “Ada pak, tapi ibu didalam baru datang setengah jam yang lalu sambil basah kuyup pak”. “Oh ... ya sudah kalau begitu “, sahutku. “ Ada pesan pak ? ”. Lanjut karyawan.  “Paling nanti saya mau jemput ibu. Gak perlu bilang ya mbak, ada surprise soalnya “. Kataku mengingatkan.  “ Baik pak “. Jawab karyawan.

Hari itu perusahan tempat Johan bekerja menang tender. Johanpun kelimpahan bonus yang lumayan besar jumlahnya dan pasti bisa digunakan untuk membuat rumah sederhana impian Amara istrinya. Lepas jam kantor Johanpun bergegas ke ruko ingin berjumpa belahan jiwanya.

Tiba di ruko Johan menyapa karyawan, lalu bergegas menuju kamar tidur tempat dimana Amara berada dan membuka pintu kamar pelan sekali karena Johan ingin mengejutkannya. Tampak oleh Johan, Amara meletakkan kepala di atas tangan di meja. Johan memegang pundak Amara tiba-tiba, berusaha untuk mengejutkannya. Tetapi sebaliknya malah Johan yang terkejut, ternyata pakaiannya masih basah karena kehujanan. “Ya ampun. Hujan sudah berhenti hampir dua jam yang lalu” pikir Johan. “Mami”, Johan memanggil sambil membalikkan tubuh Amara.

Saat itulah Johan menyadari sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Wajah istrinya Amara sangat pucat cenderung biru, tangannnya sangat dingin bagaikan es. “Mamiiiiiiiiii” Johan menjerit panik, lalu membopong dan membawa istrinya ke luar ruangan. Karyawan yang ada diluar pun kaget melihat situasi itu. Johan langsung meminta salah satu karyawan untuk menyetir mobil, sementara Amara berada di pangkuan Johan dan berusaha menyadarkan istrinya itu.


Johan tak henti-hentinya menangis, segala pikiran dan bayangan buruk merasuk kedalam pikiran Johan. Air matanya berderai tak terhankan jatuh membasahi wajah istrinya. Johan memeluknya dengan erat, erat sekali. Pejalanan ke rumah sakit entah kenapa terasa begitu lama. Johan tak tahan lagi. Johan ingin agar istrinya segera sadar, ingin dia tau kabar gembira yang dia bawa. Johan ingin istrinya tau, betapa ia mencintainya. Johan ingin istrinya bahagia. Johan ingin istrinya tersenyum. Johan tidak ingin Amara bersedih ataupun menangis lagi. Johan ingin melihat senyum istrinya yang dulu, ketawanya yang dulu, candaan nya yang dulu, yang hilang tanpa pernah Johan sadari.


“Mami maafkan papi mi ...  Maafkan papi ...... Maafkan papi ...... Maaafkan papiiiiiiiii maafkaannnnn”..... !!!!!”.  Johan menjerit sekeras-kerasnya, menyesalkan semua peristiwa itu.


Sudah dua jam Johan menunggu dokter menangani istrinya. “Kenapa lama sekali mbak ?” tanya Johan pada perawat yang keluar dari ruangan. “Sabar pak” jawab perawat. Ya Allah ya Tuhanku, aku mohon selamatkan dia Ya Tuhan. Dialah bidadariku Ya Allah. Aku sangat mencintainya. Bagaimana mungkin aku dan anakku hidup tanpa dia, tanpa kasih sayangnya”. Johan berdoa untuk istrinya. Ia merasa sangat sedih sekali. Belum pernah Johan merasa sesedih itu.


Tapi bagi istrinya, inilah hidup yang ia jalani selama ini. Namun Johan tak pernah mau mengerti dan tak pernah mau merasakannya. Johan tak pernah tau, jika peristiwa ini tidak terjadi. Betapa istrinya sangat menderita selama ini. “Ya Allah maafkan aku, aku mohon beri aku kesempatan”. Johan sujud berdoa mohon pengampunan, untuk semua kesalahannya, dan minta untuk diberi kesempatan.


Beberapa waktu berselang, tim dokter keluar dan berkata ; “Maafkan kami pak, nyawa istri bapak tidak tertolong. Istri bapak terserang hipotermia. Kita telah berusaha, tetapi Tuhan berkehendak lain. Sekali lagi maafkan kami. ”. Dokter menjelaskan dengan raut wajah sedih.


Seketika Johan lunglai tak berdaya dan tubuhnya berubah menjadi dingin seperti es. Air mata Johan mengalir jatuh tak tertahankan. “Bagaimana mungkin dok ? Istri saya hanya kehujanan sebentar saja. Bagaimana mungkin ?” Johan bertanya tidak percaya “Mungkin saja pak, walaupun hanya kehujanan sebentar tapi bisa saja tubuh istri bapak sedang dalam keadaan yang tidak fit, atau perutnya kosong, apalagi istri bapak tidak segera mengganti pakaiannya yang basah setelah kehujanan”. Sahut dokter.


“Ya Tuhaaaaaannnnn”, Johan menjerit keras ... Johan tak berhenti menangis, tak berhenti memeluk istrinya yang telah kaku. Johan menatap lekat wajah Amara, yang begitu teduh namun sayu. “Amiiii, aku mencintaimu sangat mencintaimu sayang. Maafkan aku yang tak pernah mengerti. Maafkan aku yang tak pernah paham. Tapi mengapa tak engkau beri aku kesempatan? Apa engkau sudah benar-benar lelah? Apa memang sudah tak kuat lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Apa kamu pikir aku akan kuat mejalani ini semua? Bagaimana dengan anak kita ?”


Pikiran Johan kembali menngenang semua hal yang telah berubah pada istrinya setahun terakhir. “Seandainya saja aku menyadari bahwa semakin hari tubuhnya memang semakin kurus, seandainya saja aku menyadari kata-kata Oscar putra kami”. Johan menyesali semuanya.


Andai waktu dapat diputar, pastilah aku tidak akan membiarkanmu tinggal lama-lama serumah dengan keluargaku. Andai waktu dapat diputar pastilah dengan sungguh-sungguh akan kubangun rumah impianmu sayang. Air mata ini, kesedihan ini, tak akan mampu menghapuskan semua salahku. Amaraaaaaaaaa, sayangku”. Johan menangis tersedu-sedu untuk semua yang telah terlambat dan tak akan terulang.


Artikel ini adalah pesan untuk para suami, agar menghargai istri serta keberadaannya, kasihi dan cintailah dia sepanjang hidup, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila ia telah tiada, tidak ada suatu apapun yang dapat lebih baik dari dirinya.

Bukanlah hal yang salah jika tinggal bersama mertua atau saudara ipar. Tapi ada baiknya mengetahui peribahasa “Yang jauh dikenang yang dekat dimusihi.” Jadi alangkah baiknya jika membina rumah tangga kecil kita dengan tertatih namun berujung nikmat dan bahagia. Karena didalamnya akan kita temukan begitu banyak kejutan dan cinta. Keluarga memang penting, ibu, ayah, kakak, adik, tapi jangan sampai karena cinta kita pada mereka kita melupakan cinta dan tanggung jawab pada istri.

Begitupun dengan para orang tua, menantu bukanlah benda yang patut dijadikan bahan omelan, mencela segala kekurangannya, menciptakan keburukan menantu berdasarkan kebencian, menganggap mereka insan yang tak pantas bicara pada mertua dan masih banyak lagi status buruk yang sengaja disematkan hanya untuk tercapainya keinginan sepihak.


Keluarga adalah istana kecil kita, baiklah itu disayangi, dibina, dibangun dengan cinta untuk menjadikannya istana yang baik. Jadilah sebagai suami yang bijaksana, istri yang bijaksana, orang tua yang bijaksana, adik atau kakak ipar yang bijaksana, bukan malah menjadi insan yang suka pijak sana pijak sini.


Semoga bermanfaat ....


SALAM GEMILANG.


Bacaan yang sangat menginspirasi untuk mengedukasi setiap keluarga, yang terkadang lupa kepada hal-hal kecil, padahal sesungguhnya hal kecil itu sangat membahayakan. Artikel ini di copas dari salah satu media sosial dan sangat bermanfaat.


Selamat Membaca ... !!

Selasa, 18 Juni 2013

AYAHKU MEMBELA IBU MERTUAKU

Pagi-pagi sekali, Tiominar mengetuk pintu rumah ibunya. Ia menggendong anaknya dan membawa satu tas besar di tangan kanannya. Dari matanya yang sembab dan merah, ibunya sudah tahu kalau Lola pasti habis bertengkar lagi dengan  suaminya.

Heran karena biasanya Tiominar hanya sebatas menelpon sambil menangis jika bertengkar dengan suaminya, lalu ayahnya segera menghampiri  Tiominar dan menanyakan masalahnya.


Tiominar mulai menceritakan awal pertengkarannya dengan suaminya tadi malam. Tiominar kecewa karena suaminya telah membohonginya selama ini. Tiominar menemukan buku rekening suaminya terjatuh di dalam mobil. Tiominar baru tahu, kalau suaminya selalu menarik sejumlah uang setiap bulan, di tanggal yang sama.

Sementara Tiominar tahu, uang yang ia terima pun sejumlah uang yang sama. Berarti sudah satu tahun lebih suaminya membagi uangnya, setengah untuknya, setengah untuk yang lain. Ayah Tiominar hanya menghela nafas. Wajah bijaksananya tidak menampakkan rasa kaget ataupun marah.

"Tiominar ...
Yang pertama, langkahmu datang ke rumah ayah sudah melawan Firman Allah karena meninggalkan rumah tanpa seizin suamimu" ... Kalimat ayah Tiominar sontak membuatnya kaget. Tiominar mengira ia akan mendapat dukungan dari ayahnya.

"Yang kedua, mengenai uang suamimu, kamu tidak berhak mengetahuinya. Hakmu hanyalah uang yang diberikan suamimu ke tanganmu. Itu pun untuk kebutuhan rumah tangga. Jika kamu membelanjakan uang itu tanpa izin suamimu, meskipun itu untuk sedekah, itu tak boleh" ... Lanjut ayah Tiominar.

"Tiominar ...
Suamimu menelpon ayah dan mengatakan bahwa sebenarnya uang itu memang diberikan setiap bulan untuk seorang wanita. Suamimu tidak menceritakannya padamu, karena kamu tidak suka wanita itu sejak lama. Kamu sudah mengenalnya, dan kamu merasa setelah menikah dengan suamimu, maka hanya kamulah wanita yang memilikinya".


"Suamimu meminta maaf kepada ayah karena ia hanya berusaha menghindari pertengkaran denganmu. Ayah mengerti karena ayahpun sudah mengenal watakmu" mata ayah mulai berkaca-kaca.


"Tiominar ...
kamu harus tahu, setelah kamu menikah maka yang wajib kamu taati adalah suamimu. Jika suamimu berkenan padamu, maka Allah pun berkenan. Sedangkan suamimu, ia wajib taat kepada ibunya. Begitulah Allah mengatur laki-laki untuk taat kepada ibunya. Jangan sampai kamu menjadi penghalang bakti suamimu kepada ibundanya".


"Suamimu, dan harta suamimu adalah milik ibu nya". Ayah Tiominar mengatakan itu dengan tangis. Seorang ibu melahirkan anaknya dengan susah payah dan kesakitan. Kemudian ia membesarkannya hingga dewasa hingga anak laki-lakinya menikah, ia melepasnya begitu saja. 

Kemudian anak laki-laki itu akan sibuk dengan kehidupan barunya. Bekerja untuk keluarga barunya. Mengerahkan seluruh hidupnya untuk istri dan anak-anaknya. Anak laki-laki itu hanya menyisakan sedikit waktu untuk sesekali berjumpa dengan ibunya. Sebulan sekali, atau bahkan hanya setahun sekali.

"Kamu yang sejak awal menikah tidak suka dengan ibu mertuamu. Kenapa ? ... Karena rumahnya kecil dan sempit ? ... Sehingga kamu merajuk kepada suamimu bahwa kamu tidak bisa tidur disana. Anak-anakmu pun tidak akan betah disana. Tiominar ... mendengar ini ayah sakit sekali".

"Lalu, jika kamu saja merasa tidak nyaman tidur di sana, bagaimana dengan ibu mertuamu yang dibiarkan saja untuk tinggal disana ? ... Uang itu diberikan untuk ibunya. Suamimu ingin ayahnya berhenti berkeliling menjual gorengan. Dari uang itu ibu suamimu hanya memakainya secukupnya saja, selebihnya secara rutin dibagikan ke anak-anak yatim dan orang-orang tidak mampu di kampungnya”.


Tiominar membatin dalam hatinya, uang yang diberikan suaminya sering dikeluhkannya kurang. Karena ia butuh banyak pakaian untuk mengantar jemput anak sekolah. Ia juga sangat menjaga penampilannya untuk merawat wajah dan tubuhnya di spa. Berjalan-jalan setiap minggu di mall. Juga berkumpul sesekali dengan teman-temannya di restoran.


Tiominar menyesali sikapnya yang tak ingin dekat-dekat dengan mertuanya yang hanya seorang tukang gorengan. Tukang gorengan yang berhasil menjadikan suaminya seorang sarjana, mendapatkan pekerjaan yang di idam-idamkan banyak orang. Berhasil mandiri, hingga ia bisa menempati rumah yang nyaman dan mobil yang bisa ia gunakan setiap hari.


"Ayaaah ... maafkan Tiominar", tangis Tiominar meledak. Ibunda Tiominar yang sejak tadi duduk di samping Tiominar segera memeluknya. 

"Tiominar ... kembalilah ke rumah suamimu. Ia orang baik nak ... Bantulah suamimu berbakti kepada orang tuanya. Bantu suamimu menggapai surganya, dan dengan sendirinya, ketaatanmu kepada suamimu bisa menghantarkanmu ke surga. Ibunda Tiominar membisikkan kalimat itu ke telinganya.

Tiominar hanya menjawabnya dengan anggukan. Ia menahan tangisnya. Bathinnya sakit, menyesali sikapnya. Iapun pulang menghadap suaminya dan sambil menangis memohon maaf kepada suaminya atas prasangka yang salah selama ini.


@@@@@ ...

Di lain hari, Tiominarpun mengikuti suaminya bersilaturahmi kepada ibu kandung suaminya alias mertuanya sendiri. Suaminya meneteskan air mata menatap di tangan Tiominar tertenteng empat liter minyak goreng untuk mertuanya. Tetesan air mata suami bukan masalah jumlah liternya, tetapi karena perubahan istrinya yang senang dan nampak ikhlas hendak datang kepada mertuanya.

Seterusnya Tiominar berjanji dalam hatinya, untuk menjadi istri yang taat pada suaminya. Sesekali waktu, Tiominar tidak lagi mengajak suaminya ke mall tetapi minta anjangsana ke rumah mertuanya dan juga orang tuanya.

SEMOGA BERMANFAAT ... !!!

Rabu, 05 Juni 2013

BERLAYAR TANPA NAKHODA

Selamat Membaca .. !!!

Tiominar menikah dengan seorang pria lebih kurang 27 tahun silam, dalam sebuah pesta pernikahan adat batak yang sangat meriah untuk ukuran tahun 1991. Ia menerima ajakan pria itu untuk menikah, karena mengetahui pria itu adalah orang baik. Saat memilih untuk menikah dengan pria itu, Tiominar memutuskan untuk berhenti bekerja dari salah satu rumah sakit di Medan, untuk selanjutnya mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga, mendampingi suami baik dalam duka maupun dalam suka.

Pada saat menikah, suami Tiominar adalah seorang pegawai negeri sipil dengan golongan masih rendah. Tetapi untuk kehidupan berdua, gaji PNS dengan golongan serendah itu terhitung masih lebih dari cukup.

Sebagai seorang istri, Tiominar harus lebih pintar mengatur keuangan. Ia selalu berusaha untuk menyisihkan sedikit dari gaji suaminya untuk ditabung. Tiominar juga selalu menahan diri untuk membeli sesuatu yang dia inginkan, jika keinginan itu bukanlah kebutuhan yang belum jelas urgensinya.

Pada sebuah kesempatan, Tiominar diajak salah seorang istri teman suaminya untuk membeli sofa (kursi tamu), tetapi ia menolak dengan cara yang santun. Tiominar berpikir, uang untuk membeli sofa lebih baik ditabung, lantaran ia dan suaminya masih merasa nyaman duduk di lantai beralaskan tikar pandan pemberian mertuanya
...

Rumah tangga Tiominar pada awalnya baik-baik saja. Semua berjalan normal dan sama sekali tidak ada masalah. Suami Tiominar menyetorkan seluruh gaji kepadanya setiap bulan. Dan dengan sangat bijaksana, Tiominar memberikan uang saku kepada suaminya sesuai dengan kebutuhan selama satu bulan. Tiominar tidak ingin suaminya menjadi rendah dimata teman-temannya sendiri, karena tidak memiliki uang saku.

Dan dengan sangat bijaksana, Tiominar menjawab dengan hormat saat suaminya menolak pemberian Tiominar yang cukup besar, hanya untuk sekedar uang saku. Namun begitu, Tiominar tetap saja memberi lebih, dari apa yang suaminya minta. Tiominar berpikir, untuk urusan dapur biarlah ia yang pandai-pandai mengatur.

Tetapi setelah beberapa bulan berumah tangga, suami Tiominar mulai berubah. Ia tidak pernah lagi menerima gaji suaminya. Mereka berdua semakin sering bertengkar, bahkan Tiominar pernah meminta untuk bercerai.

Beruntung, seseorang yang telah dianggap orang tua oleh Tiominar memberi nasihat agar bersabar, dan mengingatkan Tiominar bahwa ia sedang hamil. Lebih lanjut orang tua itu mengingatkan Tiominar, bahwa tidak baik bercerai saat seseorang sedang hamil, dan menyarankan agar Tiominar membawa suaminya dalam doa, agar dia berubah.

 ...

Pasca kelahiran anak pertamanya, Tiominar berharap suaminya akan berubah. Ia selalu berpikir positif. Apalagi mereka sudah punya seorang anak tentu biaya hidup akan bertambah.

Tiominar yakin, kalau suaminya akan memberikan gaji kepadanya. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Bahkan selembarpun uang seribuan, Tiominar tidak menerima dari gaji suaminya. Sebaliknya suami Tiominar semakin menggila dengan asyik bermain judi dan minum minuman beralkohol.

Sekalipun begitu, Tiominar masih mengakui suaminya adalah orang baik. Tidak suka main perempuan, tidak pernah memukul dirinya. Tiominar juga membandingkan suaminya dengan suami tetangga, yang selalu main tangan.

Tetapi apakah tugas suami hanya sebatas tidak memukul istri ? ... Lalu bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap kebutuhan hidup rumah tangga ? ... Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terngiang di benak Tiominar.

Memang suaminya bekerja. PNS pula. Tetapi gajinya tak pernah sampai kepada dirinya. Suaminya menghabiskan gaji yang ia terima di meja judi. Bosan main judi, suaminya ganti minum minuman keras. Demikian peristiwa itu terus berlangsung.

Dari anak pertama lahir hingga anak ke empat tidak ada perubahan sikap pada suami Tiominar. Namun demi anak-anak ia tidak mau menyerah. Tiominar tidak pernah mengeluh kepada siapapun tentang suaminya, kecuali kepada seseorang yang telah ia anggap sebagai orang tuanya. Tiominar selalu mencurahkan kepedihan hatinya kepada orang tua itu dan selalu mendapat nasehat agar tegar dan tidak menyerah.

Satu nasehat konyol dari orang tua itu, yang tak pernah akan Tiominar lupakan adalah, ajakan dari orang tua itu agar menempatkan diri sebagai seorang janda. Walau suami masih hidup, Tiominar disuruh menganggapnya sudah tiada. Mengerikan memang, tetapi agar kuat Tiominar harus melakukan itu.

Dan nasehat orang tua itu benar-benar mampu membakar semangat Tiominar untuk melanjutkan hidup, dan ia bersumpah pada dirinya sendiri, bahwa ia akan membuat suaminya kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga dan kelak suaminya akan menyesal atas semua yang sudah ia lakukan.

 ...

Tiominar sudah memutuskan untuk memposisikan diri sebagai janda. Dengan begitu justru lebih baik, daripada menempatkan diri sebagai perempuan bersuami, tetapi suami tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup keluarga.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keempat anaknya, Tiominar menggarap sawah dan ladang milik orang lain. Untuk sawah, Tiominar bersedia menggunakan sistem bagi hasil, dan untuk ladang ia berani menggunakan sistem sewa.

Tiominar sama sekali tidak memiliki pengalaman bertani. Tetapi ia melawan keraguan itu dengan prinsip “Tumbuhan apapun yang disebar di muka bumi ini, ia akan tumbuh dengan subur”. Sumpah yang telah ia ucapkan tentang suaminya, sungguh telah memotivasi dirinya untuk meraih keberhasilan.

Setiap pagi Tiominar bangun subuh untuk menanak nasi, menyuci pakaian dan merapikan rumah. Tiominar tetap melakukan itu mengingat kodratnya sebagai seorang wanita. Tiominar tetap menyediakan makanan di atas meja makan, terlepas apakah makanan itu dimakan atau tidak oleh suaminya.

Jam tujuh pagi Tiominar sudah pergi ke sawah. Ia membawa anaknya ke sawah, supaya ia bisa mengasuhnya sambil bekerja. Saking banyaknya perlengkapan yang Tiominar bawa, ia tampak seperti hendak “piknik” sekalipun tujuannya adalah ke sawah. Tiominar membawa ayunan anak, popok dan baju ganti, makan siang, susu dan mainan anak serta obat-obatan P3K, siapa tau diperlukan saat ia dan anak-anaknya berada di sawah.

Tiominar memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk bermain sesuka hati mereka. Di gubuk lantai tanah tak berdinding itu, Tiominar membiarkan anaknya merangkak kesana dan kemari. Namun sembari bergerak melakukan pekerjaannya, Tiominar tetap awas terhadap anak-anaknya, agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Tiominar tidak khawatir walau anaknya merangkak di atas tanah berlumpur, karena pada hakikatnya bagi Tiominar tanah dan lumpur bukanlah sesuatu yang kotor. Yang penting bagi Tiominar, tidak ada ular yang mendekat ke gubuk. Untuk memastikan agar hal itu tidak sampai terjadi, Tiominar menaburi garam, mengelilingi gubuk agar tidak ada ular yang masuk.

Dari sawah sesekali Tiominar mendongakkan kepala ke arah gubuk untuk melihat anaknya, siapa tau anak itu merangkak menjauh meninggalkan gubuk. Jika hanya merangkak di atas tanah, biarlah seperti itu. Tiominar berpikir bahwa anaknya tidak akan meninggal hanya karena merangkak di atas tanah.

Tiominar tidak lagi memikirkan tentang perawatan tubunya. Ia tidak perlu lagi merasa cantik. Ia juga tidak lagi mementingkan halus, mulus seperti dulu. Yang Tiominar pikirkan adalah bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup.

Sedikit demi sedikit Tiominar menabung dari hasil berladang, sebagai cadangan dan bisa digunakan sewaktu-waktu jika terjadi sesuatu.

 ...

Semangat Tiominar semakin tinggi, saat ke empat anaknya sudah bisa ditinggalkan di rumah, apalagi anak-anak Tiominar sudah bisa membantunya melakukan pekerjaan di rumah. Tiominar tidak lagi menanak nasi saat pulang dari sawah, sebab anaknya telah melakukan itu sebelum Tiominar tiba di rumah.

Tiominar tidak marah, jika diketahui masakan anaknya kadang keasinan kadang pula malah tidak ada rasa garamnya. Kadang rambut ditemukan dalam sayur tetapi Tiominar tidak marah karena itu. Tiominar maklum akan hal itu, karena anaknya saat itu masih duduk di kelas lima bangku sekolah dasar. Belum waktunya memahami cara memasak dengan baik dan benar. Demikian Tiominar menyikapi peristiwa itu.

Untuk meringankan beban, Tiominar kemudian membagi tugas diantara anak-anaknya. Yang sulung mendapat bagian memasak, yang nomor dua mendapat bagian menyuci piring. Yang ketiga mendapat tugas menyapu rumah dan halaman serta yang bungsu menjadi joker, yang akan membantu siapa saja dari ketiga kakaknya sesuai dengan kebutuhan.

Disamping itu, Tiominar juga membeli beberapa ekor ternak peliharaan untuk diurusi anak-anaknya. Tiominar mengingatkan anak-anaknya bahwa hewan ternak itu adalah andalan mereka untuk biaya sekolah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka Tiominar berpesan kepada anak-anaknya untuk mengurus ternak-ternak itu dengan baik. Tiominar sangat bersyukur, keempat anak-anaknya sungguh menjadi anak yang tau diri.

 ...

Satu waktu dalam sebuah pesta, Tiominar menangis sedih, tidak tau kenapa ia tak mampu membendung air mata yang mengalir dari pipinya. Tanpa sengaja, Tiominar mendengar ibu-ibu tengah membicarakan dirinya. Para ibu-ibu tidak sadar kalau Tiominar berada di belakang mereka. Ibu-ibu itu mengatakan, percuma Tiominar bersuamikan PNS tetapi “sebutir tai kucing-pun” (baca – perhiasan-pun) tiada nempel dibadan.

Para ibu-ibu itu menyayangkan Tiominar yang nota bene adalah istri seorang PNS, namun cincin satu grampun tidak ada melingkar di jemari tangannya. Tiominar mendengar langsung ibu-ibu itu bicara, seolah ia menyimpan dan menyimpan semua uang gaji suaminya.

Yang paling menyakitkan hati Tiominar, ibu-ibu itu berkata; “akan dibawa mati rupanya uang hasil gaji dari suaminya itu”.

Hanya karena ibu-ibu itu melihatnya dengan penampilan yang sangat sederhana, tanpa perhiasan menempel di badan. Rupanya para ibu itu tidak tau. Bahkan untuk sekedar mengoles bedak di wajahnya, Tiominar tidak punya uang untuk membeli.

Mendengar omongan ibu-ibu itu, Tiominar hanya bisa bersumpah dalam hati, bahwa suatu saat nanti ia akan tunjukkan kepada mereka bahwa ia akan punya banyak “tai kucing”, bahkan “tai lembu”.

Peristiwa-peristiwa sedih yang menimpa Tiominar, membawa dirinya menjadi seseorang yang sangat hobby bersumpah.

 ...

Waktu terus berlalu. Tak terasa anak sulung Tiominar telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ia telah berhasil menghantar putrinya itu menyelesaikan pendidikannya hingga ke tingkat menengah atas dan berhasil diterima di salah satu universitas favorit di Medan.

Malam itu Tiominar bersama anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama, termasuk suaminya yang hanya bisa  diam dalam duduknya. Mereka mengucap syukur atas keberhasilan anak gadis sulungnya, yang lolos USM (Ujian Saringan Masuk) ke perguruan tinggi negeri, sekaligus memberangkatkan putri sulungnya itu ke Kota Medan, yang akan menetap disana selama mengikuti pendidikan.

Tiominar sengaja menyembelih ayam jago, lalu  dimasak “ALA BATAK” untuk disodorkan kepada putri sulungnya. Tiominar menawarkan kepada anak gadisnya daging ayam yang ia masak ala batak itu, dan membebaskan putrinya itu untuk memilih bagian mana yang putrinya suka.

Tiominar sangat bahagia ketika ia melihat anak gadisnya tersenyum saat memilih bagian hati ayam, untuk dimakan. Tiominar juga menjadi tersenyum membayangkan, bahwa bagian itulah yang menjadi rebutan seisi rumah, setiap mereka menyembelih ayam.

Makan bersama telah usai. Tiominar mengambil posisi, siap-siap untuk menasehati anak gadisnya. Dengan suara bergetar, bersama uraian air mata, Tiominar mengucap kata sambil menyerahkan sehelai sarung untuk dibawa serta ke Kota Medan.

Tiominar mengatakan bahwa sarung itu bukanlah sembarang sarung. Sarung adalah pesan tersirat dari setiap ibu di muka bumi, supaya anak gadis mereka menjadi wanita terhormat dimanapun anak gadisnya berada.

Selanjutnya Tiominar mengingatkan anak gadisnya itu, supaya pintar menjaga diri di rantau orang. Tetap rendah hati dan selalu ingat bahwa mereka adalah orang susah. Tiominar juga mengingatkan putrinya, bahwa ia bekerja keras mati-matian mengais rejeki hanya untuk meningkatkan status sosial anak-anaknya.

Lebih lanjut Tiominar menyampaikan harapannya kepada putrinya, agar jangan membuat malu orang tua, dan jadilah wanita terhormat di rantau orang. Tiominar melihat anak gadisnya tertunduk sambil meneteskan air mata. Melihat itu Tiominar tak kuasa, lalu bangkit dari duduknya dan menghambur segera memeluk anak gadisnya itu.

Dalam dekapannya, Tiominar membisikkan pesan kepada putrinya, agar mencari orang tua yang berasal dari marga (klan) ayahnya sesampainya di Kota Medan. Tiominar mengingatkan juga bahwa mereka yang berasal dari marga ayahnya adalah Bapatua atau Bapauda bagi putrinya.

Tiominar menambahkan, agar juga mencari yang semarga dengan ibunya. Untuk ini juga Tiominar mengingatkan putrinya ;
“setiap laki-laki yang semarga dengan mamakmu ini adalah tulangmu inang ya .. Jika perempuan mereka adalah “inangtua atau inangudamu”.

Semua itu oleh Tiominar dijelaskan, agar putrinya itu tidak dapat malu di rantau orang.

Tidak lupa Tiominar juga berpesan agar putrinya rajin belajar, dan harus berhasil meraih gelar sarjana, agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sepanjang malam Tiominar memeluk anak gadisnya, dan terus memanjatkan doa agar Tuhan menjagai anak gadisnya diperantauan.

...

Waktu terus berjalan. Disela kesibukannya dalam bekerja, Tiominar rupanya telah siap-siap, apabila kelak perguruan tinggi tempat putrinya kuliah mengundangnya saat wisuda. Ia meraih bungkusan plastik berwarna biru, dan menngeluarkan sanggul lalu memperhatikannya. Itulah sanggul yang akan ia kenakan saat nanti anak gadisnya di wisuda.

Tiominar menyebut sanggul itu sebagai “sanggul nyonya besar”. Ia membayangkan dirinya sebagai Nyonya Besar, saat anak gadisnya kelak meraih titel sarjana. Tiominar membatin di hati, bahwa ia akan menjelma menjadi NYONYA BESAR, dan hal itu akan terwujud lebih kurang empat tahun lagi. Dan itulah sumpahnya untuk suaminya.

Tiominar membayangkan, bahwa suaminya sebagai seorang ayah akan menjadi malu melihat anak gadisnya sendiri menjadi sarjana, tanpa peran serta dan tanggung jawabnya sebagai ayah biologis. Tiominar bersumpah, bahwa dia harus menjadi NYONYA BESAR sebanyak empat kali, sesuai jumlah anak-anaknya.

...

Pagi itu telah terparkir sebuah mobil di halaman rumah Tiominar. Ia mengeluarkan semua tabungannya untuk keperluan pelantikan anak gadisnya, yang segera menjadi seorang sarjana. Besok anak gadisnya akan di wisuda dan hari ini Tiominar beserta seluruh keluarga akan bertolak ke Kota Medan dengan menggunakan mobil. Ya, Tiominar sengaja merental mobil untuk keperluan wisuda anak gadisnya itu.

Tiominar dan suaminya, beserta tiga orang anaknya turut bersama di dalam mobil itu. Ia melihat wajah suaminya memancarkan rona bahagia, walau tampak hal itu terasa dipaksakan. Di dalam hatinya Tiominar tertawa, dan memahami apa yang terjadi pada suaminya.

Tiominar berjanji dalam hatinya, untuk tidak bicara dan tidak akan bertanya kepada suaminya, sampai suaminya itu mengakui bahwa ia sungguh sudah menjelma menjadi Nyonya Besar. Iya ... sampai suaminya mengakui itu.

Esok harinya di Kota Medan, Tiominar memilih salon yang terbaik. Ia ingin menunjukkan, bahwa ia layak menjadi seorang Nyonya Besar, dengan merias diri secantik mungkin. Tidak lupa, Tiominar membawa kantong plastik berwarna biru tempat dimana sanggul impiannya tersimpan. Ia harus memakai SANGGUL NYONYA BESAR.

Butuh waktu satu jam bagi pekerja salon untuk merias Tiominar dan mewujudkannya dengan tampilan seorang Nyonya Besar. Maklum, bukan hal gampang merubah wanita petani, untuk tampil dengan wujud nyonya besar. Dan hal itu harus terjadi karena memang saat itu adalah hari yang bersejarah bagi Tiominar

Keluar dari salon, Tiominar telah disambut oleh ketiga anaknya yang tampak cantik dan ganteng dengan menggunakan busana seragam. Tiominar harus menjual tiga ekor ternak sebulan sebelumnya, untuk menjahitkan dua gaun merah untuk dua anak gadisnya, dan satu setel jas untuk sibungsu anak laki satu-satunya. Tiominar melihat suaminya bengong termangu melihat dirinya, lalu tertunduk tak mampu berkata sepatahpun kata. Tiominar semakin tertawa dalam hatinya.

Sungguh memang Tiominar terlihat seperti Nyonya Besar dengan kebaya merah berkilauan. Menggunakan sepatu berhak tinggi dan sanggul istimewa, Tiominar menggenggam tas tangan kulit elegan. Tampak “tai kucing ukuran besar” (baca – perhiasan ukuran besar) bergelantungan di leher, terselip di jemari dan menempel di telinga Tiominar.

TAIK KUCING yang selama ini dihinakan orang kepadanya sekarang sudah menempel manis ditubuh Tiominar. Inilah hasil jerih payahnya berpuluh puluh tahun bercocok tanam di sawah, di bawah terik matahari dan diguyur hujan. Tiominar tidak peduli dengan dirinya sendiri pada saat itu, tetapi khusus untuk peristiwa pelantikan anak gadisnya ini, Tiominar harus sangat peduli lantaran dirinya adalah seorang NYONYA BESAR.

...

Tiominar dan keluarga memasuki ruangan auditorium yang cukup luas. Tiominar merinding, tidak pernah membayangkan bisa berada di tempat seperti itu. Tak terasa air matanya menetes, saat ia berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan panitia.

Sambil berjalan saat hendak memasuki ruang auditorium, anak bungsu Tiominar mengingatkannya agar anak sulungnya diberitau bahwa mereka juga ikut pada acara itu. Anak bungsunya juga meminta, agar diberi kesempatan untuk photo bersama.

Mendengar anak bungsunya Tiominar memastikan ;
“selesai acara nanti kita foto keluarga ya sayang, supaya kamu bisa seperti kakak mu”

Di ruang auditorium, air mata Tiominar semakin tidak terbendung saat ia mendengar nama anak gadisnya dipanggil. Tak henti-hentinya Tiominar mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala kasih-Nya kepada Tiominar.

Tiominar segera berhenti dari tangisnya. Ia kaget bukan kepalang, merasa tangannya dicengkram sangat kuat. Ia menoleh dan melihat suaminya meneteskan air mata. Tiominar berkata dalam hati ;
 “ahhay ...  bisa juga bapak-bapak meneteskan air mata ?”

Suaminya memeluk Tiominar sambil menangis seperti anak kecil menangis sesenggukan, dan meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Secara perlahan Tiominar mendorong tangan, dan melepaskan pelukan suaminya, dan berkata ;
“Besok sajalah setelah pulang ke kampong, barulah kita bermaaf-maafan. Hari ini aku benar benar ingin menikmati diriku sebagai NYONYA BESAR”

...

Begitulah suami Tiominar menyadari kesalahannya setelah anak gadisnya dapat meraih titel sarjana. Dia bertobat saat gajinya sudah habis untuk menutupi utang judi selama ini. Tetapi Tiominar sungguh murah hati. Baginya tidak ada kata terlambat, bagi orang yang mau bertobat. Apalagi pria itu adalah suaminya sendiri.

Tiominar tetap memaafkan, setelah perbuatan suaminya yang sungguh tak bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga. Bagi Tiominar, seperti apapun situasi dan kondisi suami saat ini, dia tetaplah suaminya. Dia tetaplah menjadi ayah dari anak-anaknya. Itulah sebabnya, sesakit apapun suami memperlakukan dirinya selama ini, Tiominar tidak pernah menghasut anak-anaknya untuk membenci ayah mereka.

Merasakan kebaikan istrinya berperilaku, suatu saat suami Tiominar berkata ;
“Tidak salah aku memilih dan menjadikanmu ist….

Belum selesai suaminya bicara Tiominar langsung memotong ;
“aku yang salah memilihmu menjadi suamiku”

Suaminya berkata lagi :
“Kau hebat mak… maafkan aku atas kesalahan ku..”

Tiominar menjawab pernyataan suaminya itu dengan mengatakan bahwa bukan karena dia hebat, tetapi dia kuat karena selama itu Tiominar sudah memposisikan dirinya sebagai seorang janda.

Mendengar pernyataan Tiominar, spontan suaminya memeluk Tiominar dan berkali-kali berkata ;
“Aku minta maaf dan aku mau memperbaiki diriku”

Tiominar mendorong tangan, dan berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Tetapi pelukan suaminya semakin erat. Semakin keras Tiominar mendorong tangan suaminya, terasa semakin erat suaminya memeluk Tiominar.

Sambil memeluk Tiominar dengan erat, suaminya berkata lirih ;
“Aku minta maaf NYONYA BESAR, aku minta maaf”

Mendengar suaminya berkata seperti itu, pecahlah tawa Tiominar. Ia tertawa sebagai bentuk rasa puasnya, setelah sekian lama ia menderita. Ia tertawa bukan berarti merasa puas sebagai ungkapan terbalasnya sebuah dendam, tetapi ia merasa puas bahwa pada akhirnya semuanya kembali ke jalan yang sesungguhnya.

...

Sesuai dengan sumpahnya, keempat anaknya sungguh sudah sampai kepada cita-cita. Mereka telah mendapat title sarjana dan SUMPAH Tiominar sudah terpenuhi, untuk menjadi NYONYA BESAR sebanyak empat kali.

Patutlah Tiominar bersyukur, walau ia memiliki suami yang tidak bertanggung jawab, tetapi Tiominar diberi empat orang anak yang TAU DIRI. Timinar berharap, semoga kisahnya ini bisa menguatkan dan menjadi inspirasi bagi setiap ibu  yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan hidup.


SEMOGA BERMANFAAT ... !!!