Selamat
Membaca .. !!!
Tiominar
menikah dengan seorang pria lebih kurang 27 tahun silam, dalam sebuah pesta
pernikahan adat batak yang sangat meriah untuk ukuran tahun 1991. Ia menerima
ajakan pria itu untuk menikah, karena mengetahui pria itu adalah orang baik.
Saat memilih untuk menikah dengan pria itu, Tiominar memutuskan untuk berhenti
bekerja dari salah satu rumah sakit di Medan, untuk selanjutnya mengabdikan
diri sebagai ibu rumah tangga, mendampingi suami baik dalam duka maupun dalam
suka.
Pada saat
menikah, suami Tiominar adalah seorang pegawai negeri sipil dengan golongan
masih rendah. Tetapi untuk kehidupan berdua, gaji PNS dengan golongan serendah
itu terhitung masih lebih dari cukup.
Sebagai
seorang istri, Tiominar harus lebih pintar mengatur keuangan. Ia selalu
berusaha untuk menyisihkan sedikit dari gaji suaminya untuk ditabung. Tiominar
juga selalu menahan diri untuk membeli sesuatu yang dia inginkan, jika
keinginan itu bukanlah kebutuhan yang belum jelas urgensinya.
Pada
sebuah kesempatan, Tiominar diajak salah seorang istri teman suaminya untuk
membeli sofa (kursi tamu), tetapi ia menolak dengan cara yang santun. Tiominar
berpikir, uang untuk membeli sofa lebih baik ditabung, lantaran ia dan suaminya
masih merasa nyaman duduk di lantai beralaskan tikar pandan pemberian mertuanya
...
Rumah
tangga Tiominar pada awalnya baik-baik saja. Semua berjalan normal dan sama
sekali tidak ada masalah. Suami Tiominar menyetorkan seluruh gaji kepadanya
setiap bulan. Dan dengan sangat bijaksana, Tiominar memberikan uang saku kepada
suaminya sesuai dengan kebutuhan selama satu bulan. Tiominar tidak ingin
suaminya menjadi rendah dimata teman-temannya sendiri, karena tidak memiliki
uang saku.
Dan dengan
sangat bijaksana, Tiominar menjawab dengan hormat saat suaminya menolak
pemberian Tiominar yang cukup besar, hanya untuk sekedar uang saku. Namun
begitu, Tiominar tetap saja memberi lebih, dari apa yang suaminya minta.
Tiominar berpikir, untuk urusan dapur biarlah ia yang pandai-pandai mengatur.
Tetapi
setelah beberapa bulan berumah tangga, suami Tiominar mulai berubah. Ia tidak
pernah lagi menerima gaji suaminya. Mereka berdua semakin sering bertengkar,
bahkan Tiominar pernah meminta untuk bercerai.
Beruntung,
seseorang yang telah dianggap orang tua oleh Tiominar memberi nasihat agar
bersabar, dan mengingatkan Tiominar bahwa ia sedang hamil. Lebih lanjut orang
tua itu mengingatkan Tiominar, bahwa tidak baik bercerai saat seseorang sedang
hamil, dan menyarankan agar Tiominar membawa suaminya dalam doa, agar dia
berubah.
...
Pasca
kelahiran anak pertamanya, Tiominar berharap suaminya akan berubah. Ia selalu
berpikir positif. Apalagi mereka sudah punya seorang anak tentu biaya hidup
akan bertambah.
Tiominar
yakin, kalau suaminya akan memberikan gaji kepadanya. Tetapi kenyataannya tidak
seperti itu. Bahkan selembarpun uang seribuan, Tiominar tidak menerima dari
gaji suaminya. Sebaliknya suami Tiominar semakin menggila dengan asyik bermain
judi dan minum minuman beralkohol.
Sekalipun
begitu, Tiominar masih mengakui suaminya adalah orang baik. Tidak suka main
perempuan, tidak pernah memukul dirinya. Tiominar juga membandingkan suaminya
dengan suami tetangga, yang selalu main tangan.
Tetapi
apakah tugas suami hanya sebatas tidak memukul istri ? ... Lalu bagaimana
tanggung jawab seorang suami terhadap kebutuhan hidup rumah tangga ? ...
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terngiang di benak Tiominar.
Memang
suaminya bekerja. PNS pula. Tetapi gajinya tak pernah sampai kepada dirinya.
Suaminya menghabiskan gaji yang ia terima di meja judi. Bosan main judi,
suaminya ganti minum minuman keras. Demikian peristiwa itu terus berlangsung.
Dari anak
pertama lahir hingga anak ke empat tidak ada perubahan sikap
pada suami Tiominar. Namun demi anak-anak ia tidak mau menyerah. Tiominar
tidak pernah mengeluh kepada siapapun tentang suaminya, kecuali kepada
seseorang yang telah ia anggap sebagai orang tuanya. Tiominar selalu
mencurahkan kepedihan hatinya kepada orang tua itu dan selalu mendapat nasehat
agar tegar dan tidak menyerah.
Satu
nasehat konyol dari orang tua itu, yang tak pernah akan Tiominar lupakan
adalah, ajakan dari orang tua itu agar menempatkan diri sebagai seorang janda.
Walau suami masih hidup, Tiominar disuruh menganggapnya sudah tiada. Mengerikan
memang, tetapi agar kuat Tiominar harus melakukan itu.
Dan
nasehat orang tua itu benar-benar mampu membakar semangat Tiominar untuk
melanjutkan hidup, dan ia bersumpah pada dirinya sendiri, bahwa ia akan
membuat suaminya kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga dan kelak suaminya
akan menyesal atas semua yang sudah ia lakukan.
...
Tiominar
sudah memutuskan untuk memposisikan diri sebagai janda. Dengan begitu justru
lebih baik, daripada menempatkan diri sebagai perempuan bersuami, tetapi suami
tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup keluarga.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup beserta keempat anaknya, Tiominar menggarap sawah dan
ladang milik orang lain. Untuk sawah, Tiominar bersedia menggunakan sistem bagi
hasil, dan untuk ladang ia berani menggunakan sistem sewa.
Tiominar
sama sekali tidak memiliki pengalaman bertani. Tetapi ia melawan keraguan itu
dengan prinsip “Tumbuhan apapun yang disebar di muka bumi ini, ia akan tumbuh
dengan subur”. Sumpah yang telah ia ucapkan tentang suaminya, sungguh telah
memotivasi dirinya untuk meraih keberhasilan.
Setiap
pagi Tiominar bangun subuh untuk menanak nasi, menyuci pakaian dan
merapikan rumah. Tiominar tetap melakukan itu mengingat kodratnya sebagai seorang wanita.
Tiominar tetap menyediakan makanan di atas meja makan, terlepas
apakah makanan itu dimakan atau tidak oleh suaminya.
Jam tujuh pagi Tiominar sudah
pergi ke sawah. Ia membawa anaknya ke sawah, supaya ia bisa
mengasuhnya sambil bekerja. Saking banyaknya perlengkapan yang
Tiominar bawa, ia tampak seperti hendak “piknik” sekalipun tujuannya adalah ke
sawah. Tiominar membawa ayunan anak, popok dan baju ganti, makan siang, susu
dan mainan anak serta obat-obatan P3K, siapa tau diperlukan saat ia dan
anak-anaknya berada di sawah.
Tiominar
memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk bermain sesuka hati mereka. Di gubuk
lantai tanah tak berdinding itu, Tiominar membiarkan anaknya merangkak kesana
dan kemari. Namun sembari bergerak melakukan pekerjaannya, Tiominar tetap awas
terhadap anak-anaknya, agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Tiominar
tidak khawatir walau anaknya merangkak di atas tanah berlumpur, karena pada
hakikatnya bagi Tiominar tanah dan lumpur bukanlah sesuatu yang kotor. Yang
penting bagi Tiominar, tidak ada ular yang mendekat ke gubuk. Untuk memastikan
agar hal itu tidak sampai terjadi, Tiominar menaburi garam, mengelilingi gubuk
agar tidak ada ular yang masuk.
Dari sawah
sesekali Tiominar mendongakkan kepala ke arah gubuk untuk melihat anaknya,
siapa tau anak itu merangkak menjauh meninggalkan gubuk. Jika hanya merangkak
di atas tanah, biarlah seperti itu. Tiominar berpikir bahwa anaknya tidak akan
meninggal hanya karena merangkak di atas tanah.
Tiominar
tidak lagi memikirkan tentang perawatan tubunya. Ia tidak perlu lagi merasa
cantik. Ia juga tidak lagi mementingkan halus, mulus seperti dulu. Yang
Tiominar pikirkan adalah bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan
hidup.
Sedikit
demi sedikit Tiominar menabung dari hasil berladang, sebagai cadangan dan bisa
digunakan sewaktu-waktu jika terjadi sesuatu.
...
Semangat
Tiominar semakin tinggi, saat ke empat anaknya sudah bisa ditinggalkan di
rumah, apalagi anak-anak Tiominar sudah bisa membantunya melakukan pekerjaan di
rumah. Tiominar tidak lagi menanak nasi saat pulang dari sawah, sebab anaknya
telah melakukan itu sebelum Tiominar tiba di rumah.
Tiominar
tidak marah, jika diketahui masakan anaknya kadang keasinan kadang pula malah tidak
ada rasa garamnya. Kadang rambut ditemukan dalam sayur tetapi Tiominar tidak
marah karena itu. Tiominar maklum akan hal itu, karena anaknya saat itu masih
duduk di kelas lima bangku sekolah dasar. Belum waktunya memahami cara memasak
dengan baik dan benar. Demikian Tiominar menyikapi peristiwa itu.
Untuk
meringankan beban, Tiominar kemudian membagi tugas diantara anak-anaknya. Yang
sulung mendapat bagian memasak, yang nomor dua mendapat bagian menyuci piring.
Yang ketiga mendapat tugas menyapu rumah dan halaman serta yang bungsu menjadi
joker, yang akan membantu siapa saja dari ketiga kakaknya sesuai dengan
kebutuhan.
Disamping
itu, Tiominar juga membeli beberapa ekor ternak peliharaan untuk diurusi
anak-anaknya. Tiominar mengingatkan anak-anaknya bahwa hewan ternak itu adalah
andalan mereka untuk biaya sekolah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka
Tiominar berpesan kepada anak-anaknya untuk mengurus ternak-ternak itu dengan
baik. Tiominar sangat bersyukur, keempat anak-anaknya sungguh menjadi anak yang
tau diri.
...
Satu waktu
dalam sebuah pesta, Tiominar menangis sedih, tidak tau kenapa ia tak mampu
membendung air mata yang mengalir dari pipinya. Tanpa sengaja, Tiominar
mendengar ibu-ibu tengah membicarakan dirinya. Para ibu-ibu tidak sadar kalau
Tiominar berada di belakang mereka. Ibu-ibu itu mengatakan, percuma Tiominar
bersuamikan PNS tetapi “sebutir tai kucing-pun” (baca – perhiasan-pun) tiada
nempel dibadan.
Para
ibu-ibu itu menyayangkan Tiominar yang nota bene adalah istri seorang PNS,
namun cincin satu grampun tidak ada melingkar di jemari tangannya. Tiominar
mendengar langsung ibu-ibu itu bicara, seolah ia menyimpan dan menyimpan semua
uang gaji suaminya.
Yang
paling menyakitkan hati Tiominar, ibu-ibu itu berkata; “akan dibawa mati
rupanya uang hasil gaji dari suaminya itu”.
Hanya
karena ibu-ibu itu melihatnya dengan penampilan yang sangat sederhana, tanpa
perhiasan menempel di badan. Rupanya para ibu itu tidak tau. Bahkan untuk
sekedar mengoles bedak di wajahnya, Tiominar tidak punya uang untuk membeli.
Mendengar
omongan ibu-ibu itu, Tiominar hanya bisa bersumpah dalam hati, bahwa suatu saat
nanti ia akan tunjukkan kepada mereka bahwa ia akan punya banyak “tai kucing”,
bahkan “tai lembu”.
Peristiwa-peristiwa
sedih yang menimpa Tiominar, membawa dirinya menjadi seseorang yang sangat
hobby bersumpah.
...
Waktu
terus berlalu. Tak terasa anak sulung Tiominar telah tumbuh menjadi gadis
dewasa. Ia telah berhasil menghantar putrinya itu menyelesaikan pendidikannya
hingga ke tingkat menengah atas dan berhasil diterima di salah satu universitas
favorit di Medan.
Malam itu
Tiominar bersama anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama, termasuk suaminya
yang hanya bisa diam dalam duduknya. Mereka mengucap syukur atas
keberhasilan anak gadis sulungnya, yang lolos USM (Ujian Saringan Masuk) ke
perguruan tinggi negeri, sekaligus memberangkatkan putri sulungnya itu ke Kota
Medan, yang akan menetap disana selama mengikuti pendidikan.
Tiominar
sengaja menyembelih ayam jago, lalu dimasak “ALA BATAK” untuk
disodorkan kepada putri sulungnya. Tiominar menawarkan kepada anak gadisnya
daging ayam yang ia masak ala batak itu, dan membebaskan putrinya itu untuk
memilih bagian mana yang putrinya suka.
Tiominar
sangat bahagia ketika ia melihat anak gadisnya tersenyum saat memilih bagian
hati ayam, untuk dimakan. Tiominar juga menjadi tersenyum membayangkan, bahwa
bagian itulah yang menjadi rebutan seisi rumah, setiap mereka menyembelih ayam.
Makan
bersama telah usai. Tiominar mengambil posisi, siap-siap untuk menasehati anak
gadisnya. Dengan suara bergetar, bersama uraian air mata, Tiominar mengucap
kata sambil menyerahkan sehelai sarung untuk dibawa serta ke Kota Medan.
Tiominar
mengatakan bahwa sarung itu bukanlah sembarang sarung. Sarung adalah pesan
tersirat dari setiap ibu di muka bumi, supaya anak gadis mereka menjadi wanita
terhormat dimanapun anak gadisnya berada.
Selanjutnya
Tiominar mengingatkan anak gadisnya itu, supaya pintar menjaga diri di rantau
orang. Tetap rendah hati dan selalu ingat bahwa mereka adalah orang susah.
Tiominar juga mengingatkan putrinya, bahwa ia bekerja keras mati-matian mengais
rejeki hanya untuk meningkatkan status sosial anak-anaknya.
Lebih
lanjut Tiominar menyampaikan harapannya kepada putrinya, agar jangan membuat
malu orang tua, dan jadilah wanita terhormat di rantau orang. Tiominar melihat
anak gadisnya tertunduk sambil meneteskan air mata. Melihat itu Tiominar tak
kuasa, lalu bangkit dari duduknya dan menghambur segera memeluk anak gadisnya
itu.
Dalam
dekapannya, Tiominar membisikkan pesan kepada putrinya, agar mencari orang tua
yang berasal dari marga (klan) ayahnya sesampainya di Kota Medan. Tiominar
mengingatkan juga bahwa mereka yang berasal dari marga ayahnya adalah Bapatua
atau Bapauda bagi putrinya.
Tiominar
menambahkan, agar juga mencari yang semarga dengan ibunya. Untuk ini juga
Tiominar mengingatkan putrinya ;
“setiap
laki-laki yang semarga dengan mamakmu ini adalah tulangmu inang ya .. Jika
perempuan mereka adalah “inangtua atau inangudamu”.
Semua itu
oleh Tiominar dijelaskan, agar putrinya itu tidak dapat malu di rantau orang.
Tidak lupa
Tiominar juga berpesan agar putrinya rajin belajar, dan harus berhasil meraih
gelar sarjana, agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sepanjang malam
Tiominar memeluk anak gadisnya, dan terus memanjatkan doa agar Tuhan menjagai
anak gadisnya diperantauan.
...
Waktu
terus berjalan. Disela kesibukannya dalam bekerja, Tiominar rupanya telah
siap-siap, apabila kelak perguruan tinggi tempat putrinya kuliah mengundangnya
saat wisuda. Ia meraih bungkusan plastik berwarna biru, dan menngeluarkan
sanggul lalu memperhatikannya. Itulah sanggul yang akan ia kenakan saat nanti
anak gadisnya di wisuda.
Tiominar
menyebut sanggul itu sebagai “sanggul nyonya besar”. Ia membayangkan dirinya
sebagai Nyonya Besar, saat anak gadisnya kelak meraih titel sarjana. Tiominar
membatin di hati, bahwa ia akan menjelma menjadi NYONYA BESAR, dan hal itu akan
terwujud lebih kurang empat tahun lagi. Dan itulah sumpahnya untuk suaminya.
Tiominar
membayangkan, bahwa suaminya sebagai seorang ayah akan menjadi malu melihat
anak gadisnya sendiri menjadi sarjana, tanpa peran serta dan tanggung jawabnya
sebagai ayah biologis. Tiominar bersumpah, bahwa dia harus menjadi NYONYA BESAR
sebanyak empat kali, sesuai jumlah anak-anaknya.
...
Pagi itu
telah terparkir sebuah mobil di halaman rumah Tiominar. Ia mengeluarkan
semua tabungannya untuk keperluan pelantikan anak gadisnya, yang segera menjadi
seorang sarjana. Besok anak gadisnya akan di wisuda dan hari ini Tiominar
beserta seluruh keluarga akan bertolak ke Kota Medan dengan menggunakan mobil.
Ya, Tiominar sengaja merental mobil untuk keperluan wisuda anak gadisnya itu.
Tiominar
dan suaminya, beserta tiga orang anaknya turut bersama di dalam mobil itu. Ia
melihat wajah suaminya memancarkan rona bahagia, walau tampak hal itu terasa
dipaksakan. Di dalam hatinya Tiominar tertawa, dan memahami apa yang terjadi
pada suaminya.
Tiominar
berjanji dalam hatinya, untuk tidak bicara dan tidak akan bertanya kepada
suaminya, sampai suaminya itu mengakui bahwa ia sungguh sudah menjelma menjadi
Nyonya Besar. Iya ... sampai suaminya mengakui itu.
Esok
harinya di Kota Medan, Tiominar memilih salon yang terbaik. Ia ingin
menunjukkan, bahwa ia layak menjadi seorang Nyonya Besar, dengan merias diri
secantik mungkin. Tidak lupa, Tiominar membawa kantong plastik berwarna biru
tempat dimana sanggul impiannya tersimpan. Ia harus memakai SANGGUL NYONYA
BESAR.
Butuh
waktu satu jam bagi pekerja salon untuk merias Tiominar dan mewujudkannya
dengan tampilan seorang Nyonya Besar. Maklum, bukan hal gampang merubah wanita
petani, untuk tampil dengan wujud nyonya besar. Dan hal itu harus terjadi
karena memang saat itu adalah hari yang bersejarah bagi Tiominar
Keluar
dari salon, Tiominar telah disambut oleh ketiga anaknya yang tampak cantik dan
ganteng dengan menggunakan busana seragam. Tiominar harus menjual tiga ekor
ternak sebulan sebelumnya, untuk menjahitkan dua gaun merah untuk dua anak
gadisnya, dan satu setel jas untuk sibungsu anak laki satu-satunya. Tiominar
melihat suaminya bengong termangu melihat dirinya, lalu tertunduk tak mampu
berkata sepatahpun kata. Tiominar semakin tertawa dalam hatinya.
Sungguh
memang Tiominar terlihat seperti Nyonya Besar dengan kebaya merah berkilauan.
Menggunakan sepatu berhak tinggi dan sanggul istimewa, Tiominar menggenggam tas
tangan kulit elegan. Tampak “tai kucing ukuran besar” (baca – perhiasan ukuran
besar) bergelantungan di leher, terselip di jemari dan menempel di telinga
Tiominar.
TAIK
KUCING yang selama ini dihinakan orang kepadanya sekarang sudah menempel
manis ditubuh Tiominar. Inilah hasil jerih payahnya berpuluh
puluh tahun bercocok tanam di sawah, di bawah terik
matahari dan diguyur hujan. Tiominar tidak peduli dengan
dirinya sendiri pada saat itu, tetapi khusus untuk peristiwa
pelantikan anak gadisnya ini, Tiominar harus sangat peduli lantaran dirinya adalah seorang NYONYA
BESAR.
...
Tiominar
dan keluarga memasuki ruangan auditorium yang cukup luas. Tiominar merinding,
tidak pernah membayangkan bisa berada di tempat seperti itu. Tak terasa air
matanya menetes, saat ia berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan
panitia.
Sambil
berjalan saat hendak memasuki ruang auditorium, anak bungsu Tiominar
mengingatkannya agar anak sulungnya diberitau bahwa mereka juga ikut pada acara
itu. Anak bungsunya juga meminta, agar diberi kesempatan untuk photo bersama.
Mendengar
anak bungsunya Tiominar memastikan ;
“selesai
acara nanti kita foto keluarga ya sayang, supaya kamu bisa seperti kakak mu”
Di ruang auditorium,
air mata Tiominar semakin tidak terbendung saat ia mendengar
nama anak gadisnya dipanggil. Tak henti-hentinya Tiominar mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala kasih-Nya kepada Tiominar.
Tiominar
segera berhenti dari tangisnya. Ia kaget bukan kepalang, merasa
tangannya dicengkram sangat kuat. Ia menoleh dan melihat suaminya meneteskan
air mata. Tiominar berkata dalam hati ;
“ahhay
... bisa juga bapak-bapak meneteskan air mata ?”
Suaminya memeluk Tiominar sambil
menangis seperti anak kecil menangis sesenggukan, dan meminta maaf atas
semua yang telah terjadi. Secara perlahan Tiominar mendorong tangan, dan melepaskan
pelukan suaminya, dan berkata ;
“Besok sajalah setelah pulang ke
kampong, barulah kita bermaaf-maafan. Hari ini aku benar benar ingin
menikmati diriku sebagai NYONYA BESAR”
...
Begitulah suami Tiominar menyadari
kesalahannya setelah anak gadisnya dapat meraih titel sarjana. Dia
bertobat saat gajinya sudah habis untuk menutupi utang judi selama ini. Tetapi
Tiominar sungguh murah hati. Baginya tidak ada kata terlambat, bagi orang yang
mau bertobat. Apalagi pria itu adalah suaminya sendiri.
Tiominar
tetap memaafkan, setelah perbuatan suaminya yang sungguh tak bertanggung jawab
terhadap keluarga dan rumah tangga. Bagi Tiominar, seperti apapun situasi dan
kondisi suami saat ini, dia tetaplah suaminya. Dia tetaplah menjadi ayah dari
anak-anaknya. Itulah sebabnya, sesakit apapun suami memperlakukan dirinya
selama ini, Tiominar tidak pernah menghasut anak-anaknya untuk membenci ayah
mereka.
Merasakan
kebaikan istrinya berperilaku, suatu saat suami Tiominar berkata ;
“Tidak
salah aku memilih dan menjadikanmu ist….
Belum
selesai suaminya bicara Tiominar langsung memotong ;
“aku yang
salah memilihmu menjadi suamiku”
Suaminya berkata
lagi :
“Kau hebat
mak… maafkan aku atas kesalahan ku..”
Tiominar
menjawab pernyataan suaminya itu dengan mengatakan bahwa bukan karena dia
hebat, tetapi dia kuat karena selama itu Tiominar sudah memposisikan dirinya
sebagai seorang janda.
Mendengar
pernyataan Tiominar, spontan suaminya memeluk Tiominar dan berkali-kali berkata
;
“Aku minta
maaf dan aku mau memperbaiki diriku”
Tiominar
mendorong tangan, dan berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Tetapi
pelukan suaminya semakin erat. Semakin keras Tiominar mendorong tangan
suaminya, terasa semakin erat suaminya memeluk Tiominar.
Sambil
memeluk Tiominar dengan erat, suaminya berkata lirih ;
“Aku minta
maaf NYONYA BESAR, aku minta maaf”
Mendengar
suaminya berkata seperti itu, pecahlah tawa Tiominar. Ia tertawa sebagai bentuk
rasa puasnya, setelah sekian lama ia menderita. Ia tertawa bukan berarti merasa
puas sebagai ungkapan terbalasnya sebuah dendam, tetapi ia merasa puas bahwa
pada akhirnya semuanya kembali ke jalan yang sesungguhnya.
...
Sesuai
dengan sumpahnya, keempat anaknya sungguh sudah sampai
kepada cita-cita. Mereka telah mendapat title sarjana dan SUMPAH Tiominar sudah
terpenuhi, untuk menjadi NYONYA BESAR sebanyak empat kali.
Patutlah
Tiominar bersyukur, walau ia memiliki suami yang tidak
bertanggung jawab, tetapi Tiominar diberi empat orang anak yang TAU
DIRI. Timinar berharap, semoga kisahnya ini bisa menguatkan dan menjadi
inspirasi bagi setiap ibu yang tengah berjuang memenuhi
kebutuhan hidup.
SEMOGA
BERMANFAAT ... !!!