Rabu, 05 Juni 2013

BERLAYAR TANPA NAKHODA

Selamat Membaca .. !!!

Tiominar menikah dengan seorang pria lebih kurang 27 tahun silam, dalam sebuah pesta pernikahan adat batak yang sangat meriah untuk ukuran tahun 1991. Ia menerima ajakan pria itu untuk menikah, karena mengetahui pria itu adalah orang baik. Saat memilih untuk menikah dengan pria itu, Tiominar memutuskan untuk berhenti bekerja dari salah satu rumah sakit di Medan, untuk selanjutnya mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga, mendampingi suami baik dalam duka maupun dalam suka.

Pada saat menikah, suami Tiominar adalah seorang pegawai negeri sipil dengan golongan masih rendah. Tetapi untuk kehidupan berdua, gaji PNS dengan golongan serendah itu terhitung masih lebih dari cukup.

Sebagai seorang istri, Tiominar harus lebih pintar mengatur keuangan. Ia selalu berusaha untuk menyisihkan sedikit dari gaji suaminya untuk ditabung. Tiominar juga selalu menahan diri untuk membeli sesuatu yang dia inginkan, jika keinginan itu bukanlah kebutuhan yang belum jelas urgensinya.

Pada sebuah kesempatan, Tiominar diajak salah seorang istri teman suaminya untuk membeli sofa (kursi tamu), tetapi ia menolak dengan cara yang santun. Tiominar berpikir, uang untuk membeli sofa lebih baik ditabung, lantaran ia dan suaminya masih merasa nyaman duduk di lantai beralaskan tikar pandan pemberian mertuanya
...

Rumah tangga Tiominar pada awalnya baik-baik saja. Semua berjalan normal dan sama sekali tidak ada masalah. Suami Tiominar menyetorkan seluruh gaji kepadanya setiap bulan. Dan dengan sangat bijaksana, Tiominar memberikan uang saku kepada suaminya sesuai dengan kebutuhan selama satu bulan. Tiominar tidak ingin suaminya menjadi rendah dimata teman-temannya sendiri, karena tidak memiliki uang saku.

Dan dengan sangat bijaksana, Tiominar menjawab dengan hormat saat suaminya menolak pemberian Tiominar yang cukup besar, hanya untuk sekedar uang saku. Namun begitu, Tiominar tetap saja memberi lebih, dari apa yang suaminya minta. Tiominar berpikir, untuk urusan dapur biarlah ia yang pandai-pandai mengatur.

Tetapi setelah beberapa bulan berumah tangga, suami Tiominar mulai berubah. Ia tidak pernah lagi menerima gaji suaminya. Mereka berdua semakin sering bertengkar, bahkan Tiominar pernah meminta untuk bercerai.

Beruntung, seseorang yang telah dianggap orang tua oleh Tiominar memberi nasihat agar bersabar, dan mengingatkan Tiominar bahwa ia sedang hamil. Lebih lanjut orang tua itu mengingatkan Tiominar, bahwa tidak baik bercerai saat seseorang sedang hamil, dan menyarankan agar Tiominar membawa suaminya dalam doa, agar dia berubah.

 ...

Pasca kelahiran anak pertamanya, Tiominar berharap suaminya akan berubah. Ia selalu berpikir positif. Apalagi mereka sudah punya seorang anak tentu biaya hidup akan bertambah.

Tiominar yakin, kalau suaminya akan memberikan gaji kepadanya. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Bahkan selembarpun uang seribuan, Tiominar tidak menerima dari gaji suaminya. Sebaliknya suami Tiominar semakin menggila dengan asyik bermain judi dan minum minuman beralkohol.

Sekalipun begitu, Tiominar masih mengakui suaminya adalah orang baik. Tidak suka main perempuan, tidak pernah memukul dirinya. Tiominar juga membandingkan suaminya dengan suami tetangga, yang selalu main tangan.

Tetapi apakah tugas suami hanya sebatas tidak memukul istri ? ... Lalu bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap kebutuhan hidup rumah tangga ? ... Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan terngiang di benak Tiominar.

Memang suaminya bekerja. PNS pula. Tetapi gajinya tak pernah sampai kepada dirinya. Suaminya menghabiskan gaji yang ia terima di meja judi. Bosan main judi, suaminya ganti minum minuman keras. Demikian peristiwa itu terus berlangsung.

Dari anak pertama lahir hingga anak ke empat tidak ada perubahan sikap pada suami Tiominar. Namun demi anak-anak ia tidak mau menyerah. Tiominar tidak pernah mengeluh kepada siapapun tentang suaminya, kecuali kepada seseorang yang telah ia anggap sebagai orang tuanya. Tiominar selalu mencurahkan kepedihan hatinya kepada orang tua itu dan selalu mendapat nasehat agar tegar dan tidak menyerah.

Satu nasehat konyol dari orang tua itu, yang tak pernah akan Tiominar lupakan adalah, ajakan dari orang tua itu agar menempatkan diri sebagai seorang janda. Walau suami masih hidup, Tiominar disuruh menganggapnya sudah tiada. Mengerikan memang, tetapi agar kuat Tiominar harus melakukan itu.

Dan nasehat orang tua itu benar-benar mampu membakar semangat Tiominar untuk melanjutkan hidup, dan ia bersumpah pada dirinya sendiri, bahwa ia akan membuat suaminya kehilangan wibawa sebagai kepala keluarga dan kelak suaminya akan menyesal atas semua yang sudah ia lakukan.

 ...

Tiominar sudah memutuskan untuk memposisikan diri sebagai janda. Dengan begitu justru lebih baik, daripada menempatkan diri sebagai perempuan bersuami, tetapi suami tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup keluarga.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keempat anaknya, Tiominar menggarap sawah dan ladang milik orang lain. Untuk sawah, Tiominar bersedia menggunakan sistem bagi hasil, dan untuk ladang ia berani menggunakan sistem sewa.

Tiominar sama sekali tidak memiliki pengalaman bertani. Tetapi ia melawan keraguan itu dengan prinsip “Tumbuhan apapun yang disebar di muka bumi ini, ia akan tumbuh dengan subur”. Sumpah yang telah ia ucapkan tentang suaminya, sungguh telah memotivasi dirinya untuk meraih keberhasilan.

Setiap pagi Tiominar bangun subuh untuk menanak nasi, menyuci pakaian dan merapikan rumah. Tiominar tetap melakukan itu mengingat kodratnya sebagai seorang wanita. Tiominar tetap menyediakan makanan di atas meja makan, terlepas apakah makanan itu dimakan atau tidak oleh suaminya.

Jam tujuh pagi Tiominar sudah pergi ke sawah. Ia membawa anaknya ke sawah, supaya ia bisa mengasuhnya sambil bekerja. Saking banyaknya perlengkapan yang Tiominar bawa, ia tampak seperti hendak “piknik” sekalipun tujuannya adalah ke sawah. Tiominar membawa ayunan anak, popok dan baju ganti, makan siang, susu dan mainan anak serta obat-obatan P3K, siapa tau diperlukan saat ia dan anak-anaknya berada di sawah.

Tiominar memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk bermain sesuka hati mereka. Di gubuk lantai tanah tak berdinding itu, Tiominar membiarkan anaknya merangkak kesana dan kemari. Namun sembari bergerak melakukan pekerjaannya, Tiominar tetap awas terhadap anak-anaknya, agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Tiominar tidak khawatir walau anaknya merangkak di atas tanah berlumpur, karena pada hakikatnya bagi Tiominar tanah dan lumpur bukanlah sesuatu yang kotor. Yang penting bagi Tiominar, tidak ada ular yang mendekat ke gubuk. Untuk memastikan agar hal itu tidak sampai terjadi, Tiominar menaburi garam, mengelilingi gubuk agar tidak ada ular yang masuk.

Dari sawah sesekali Tiominar mendongakkan kepala ke arah gubuk untuk melihat anaknya, siapa tau anak itu merangkak menjauh meninggalkan gubuk. Jika hanya merangkak di atas tanah, biarlah seperti itu. Tiominar berpikir bahwa anaknya tidak akan meninggal hanya karena merangkak di atas tanah.

Tiominar tidak lagi memikirkan tentang perawatan tubunya. Ia tidak perlu lagi merasa cantik. Ia juga tidak lagi mementingkan halus, mulus seperti dulu. Yang Tiominar pikirkan adalah bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup.

Sedikit demi sedikit Tiominar menabung dari hasil berladang, sebagai cadangan dan bisa digunakan sewaktu-waktu jika terjadi sesuatu.

 ...

Semangat Tiominar semakin tinggi, saat ke empat anaknya sudah bisa ditinggalkan di rumah, apalagi anak-anak Tiominar sudah bisa membantunya melakukan pekerjaan di rumah. Tiominar tidak lagi menanak nasi saat pulang dari sawah, sebab anaknya telah melakukan itu sebelum Tiominar tiba di rumah.

Tiominar tidak marah, jika diketahui masakan anaknya kadang keasinan kadang pula malah tidak ada rasa garamnya. Kadang rambut ditemukan dalam sayur tetapi Tiominar tidak marah karena itu. Tiominar maklum akan hal itu, karena anaknya saat itu masih duduk di kelas lima bangku sekolah dasar. Belum waktunya memahami cara memasak dengan baik dan benar. Demikian Tiominar menyikapi peristiwa itu.

Untuk meringankan beban, Tiominar kemudian membagi tugas diantara anak-anaknya. Yang sulung mendapat bagian memasak, yang nomor dua mendapat bagian menyuci piring. Yang ketiga mendapat tugas menyapu rumah dan halaman serta yang bungsu menjadi joker, yang akan membantu siapa saja dari ketiga kakaknya sesuai dengan kebutuhan.

Disamping itu, Tiominar juga membeli beberapa ekor ternak peliharaan untuk diurusi anak-anaknya. Tiominar mengingatkan anak-anaknya bahwa hewan ternak itu adalah andalan mereka untuk biaya sekolah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka Tiominar berpesan kepada anak-anaknya untuk mengurus ternak-ternak itu dengan baik. Tiominar sangat bersyukur, keempat anak-anaknya sungguh menjadi anak yang tau diri.

 ...

Satu waktu dalam sebuah pesta, Tiominar menangis sedih, tidak tau kenapa ia tak mampu membendung air mata yang mengalir dari pipinya. Tanpa sengaja, Tiominar mendengar ibu-ibu tengah membicarakan dirinya. Para ibu-ibu tidak sadar kalau Tiominar berada di belakang mereka. Ibu-ibu itu mengatakan, percuma Tiominar bersuamikan PNS tetapi “sebutir tai kucing-pun” (baca – perhiasan-pun) tiada nempel dibadan.

Para ibu-ibu itu menyayangkan Tiominar yang nota bene adalah istri seorang PNS, namun cincin satu grampun tidak ada melingkar di jemari tangannya. Tiominar mendengar langsung ibu-ibu itu bicara, seolah ia menyimpan dan menyimpan semua uang gaji suaminya.

Yang paling menyakitkan hati Tiominar, ibu-ibu itu berkata; “akan dibawa mati rupanya uang hasil gaji dari suaminya itu”.

Hanya karena ibu-ibu itu melihatnya dengan penampilan yang sangat sederhana, tanpa perhiasan menempel di badan. Rupanya para ibu itu tidak tau. Bahkan untuk sekedar mengoles bedak di wajahnya, Tiominar tidak punya uang untuk membeli.

Mendengar omongan ibu-ibu itu, Tiominar hanya bisa bersumpah dalam hati, bahwa suatu saat nanti ia akan tunjukkan kepada mereka bahwa ia akan punya banyak “tai kucing”, bahkan “tai lembu”.

Peristiwa-peristiwa sedih yang menimpa Tiominar, membawa dirinya menjadi seseorang yang sangat hobby bersumpah.

 ...

Waktu terus berlalu. Tak terasa anak sulung Tiominar telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Ia telah berhasil menghantar putrinya itu menyelesaikan pendidikannya hingga ke tingkat menengah atas dan berhasil diterima di salah satu universitas favorit di Medan.

Malam itu Tiominar bersama anak-anaknya berkumpul untuk makan bersama, termasuk suaminya yang hanya bisa  diam dalam duduknya. Mereka mengucap syukur atas keberhasilan anak gadis sulungnya, yang lolos USM (Ujian Saringan Masuk) ke perguruan tinggi negeri, sekaligus memberangkatkan putri sulungnya itu ke Kota Medan, yang akan menetap disana selama mengikuti pendidikan.

Tiominar sengaja menyembelih ayam jago, lalu  dimasak “ALA BATAK” untuk disodorkan kepada putri sulungnya. Tiominar menawarkan kepada anak gadisnya daging ayam yang ia masak ala batak itu, dan membebaskan putrinya itu untuk memilih bagian mana yang putrinya suka.

Tiominar sangat bahagia ketika ia melihat anak gadisnya tersenyum saat memilih bagian hati ayam, untuk dimakan. Tiominar juga menjadi tersenyum membayangkan, bahwa bagian itulah yang menjadi rebutan seisi rumah, setiap mereka menyembelih ayam.

Makan bersama telah usai. Tiominar mengambil posisi, siap-siap untuk menasehati anak gadisnya. Dengan suara bergetar, bersama uraian air mata, Tiominar mengucap kata sambil menyerahkan sehelai sarung untuk dibawa serta ke Kota Medan.

Tiominar mengatakan bahwa sarung itu bukanlah sembarang sarung. Sarung adalah pesan tersirat dari setiap ibu di muka bumi, supaya anak gadis mereka menjadi wanita terhormat dimanapun anak gadisnya berada.

Selanjutnya Tiominar mengingatkan anak gadisnya itu, supaya pintar menjaga diri di rantau orang. Tetap rendah hati dan selalu ingat bahwa mereka adalah orang susah. Tiominar juga mengingatkan putrinya, bahwa ia bekerja keras mati-matian mengais rejeki hanya untuk meningkatkan status sosial anak-anaknya.

Lebih lanjut Tiominar menyampaikan harapannya kepada putrinya, agar jangan membuat malu orang tua, dan jadilah wanita terhormat di rantau orang. Tiominar melihat anak gadisnya tertunduk sambil meneteskan air mata. Melihat itu Tiominar tak kuasa, lalu bangkit dari duduknya dan menghambur segera memeluk anak gadisnya itu.

Dalam dekapannya, Tiominar membisikkan pesan kepada putrinya, agar mencari orang tua yang berasal dari marga (klan) ayahnya sesampainya di Kota Medan. Tiominar mengingatkan juga bahwa mereka yang berasal dari marga ayahnya adalah Bapatua atau Bapauda bagi putrinya.

Tiominar menambahkan, agar juga mencari yang semarga dengan ibunya. Untuk ini juga Tiominar mengingatkan putrinya ;
“setiap laki-laki yang semarga dengan mamakmu ini adalah tulangmu inang ya .. Jika perempuan mereka adalah “inangtua atau inangudamu”.

Semua itu oleh Tiominar dijelaskan, agar putrinya itu tidak dapat malu di rantau orang.

Tidak lupa Tiominar juga berpesan agar putrinya rajin belajar, dan harus berhasil meraih gelar sarjana, agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sepanjang malam Tiominar memeluk anak gadisnya, dan terus memanjatkan doa agar Tuhan menjagai anak gadisnya diperantauan.

...

Waktu terus berjalan. Disela kesibukannya dalam bekerja, Tiominar rupanya telah siap-siap, apabila kelak perguruan tinggi tempat putrinya kuliah mengundangnya saat wisuda. Ia meraih bungkusan plastik berwarna biru, dan menngeluarkan sanggul lalu memperhatikannya. Itulah sanggul yang akan ia kenakan saat nanti anak gadisnya di wisuda.

Tiominar menyebut sanggul itu sebagai “sanggul nyonya besar”. Ia membayangkan dirinya sebagai Nyonya Besar, saat anak gadisnya kelak meraih titel sarjana. Tiominar membatin di hati, bahwa ia akan menjelma menjadi NYONYA BESAR, dan hal itu akan terwujud lebih kurang empat tahun lagi. Dan itulah sumpahnya untuk suaminya.

Tiominar membayangkan, bahwa suaminya sebagai seorang ayah akan menjadi malu melihat anak gadisnya sendiri menjadi sarjana, tanpa peran serta dan tanggung jawabnya sebagai ayah biologis. Tiominar bersumpah, bahwa dia harus menjadi NYONYA BESAR sebanyak empat kali, sesuai jumlah anak-anaknya.

...

Pagi itu telah terparkir sebuah mobil di halaman rumah Tiominar. Ia mengeluarkan semua tabungannya untuk keperluan pelantikan anak gadisnya, yang segera menjadi seorang sarjana. Besok anak gadisnya akan di wisuda dan hari ini Tiominar beserta seluruh keluarga akan bertolak ke Kota Medan dengan menggunakan mobil. Ya, Tiominar sengaja merental mobil untuk keperluan wisuda anak gadisnya itu.

Tiominar dan suaminya, beserta tiga orang anaknya turut bersama di dalam mobil itu. Ia melihat wajah suaminya memancarkan rona bahagia, walau tampak hal itu terasa dipaksakan. Di dalam hatinya Tiominar tertawa, dan memahami apa yang terjadi pada suaminya.

Tiominar berjanji dalam hatinya, untuk tidak bicara dan tidak akan bertanya kepada suaminya, sampai suaminya itu mengakui bahwa ia sungguh sudah menjelma menjadi Nyonya Besar. Iya ... sampai suaminya mengakui itu.

Esok harinya di Kota Medan, Tiominar memilih salon yang terbaik. Ia ingin menunjukkan, bahwa ia layak menjadi seorang Nyonya Besar, dengan merias diri secantik mungkin. Tidak lupa, Tiominar membawa kantong plastik berwarna biru tempat dimana sanggul impiannya tersimpan. Ia harus memakai SANGGUL NYONYA BESAR.

Butuh waktu satu jam bagi pekerja salon untuk merias Tiominar dan mewujudkannya dengan tampilan seorang Nyonya Besar. Maklum, bukan hal gampang merubah wanita petani, untuk tampil dengan wujud nyonya besar. Dan hal itu harus terjadi karena memang saat itu adalah hari yang bersejarah bagi Tiominar

Keluar dari salon, Tiominar telah disambut oleh ketiga anaknya yang tampak cantik dan ganteng dengan menggunakan busana seragam. Tiominar harus menjual tiga ekor ternak sebulan sebelumnya, untuk menjahitkan dua gaun merah untuk dua anak gadisnya, dan satu setel jas untuk sibungsu anak laki satu-satunya. Tiominar melihat suaminya bengong termangu melihat dirinya, lalu tertunduk tak mampu berkata sepatahpun kata. Tiominar semakin tertawa dalam hatinya.

Sungguh memang Tiominar terlihat seperti Nyonya Besar dengan kebaya merah berkilauan. Menggunakan sepatu berhak tinggi dan sanggul istimewa, Tiominar menggenggam tas tangan kulit elegan. Tampak “tai kucing ukuran besar” (baca – perhiasan ukuran besar) bergelantungan di leher, terselip di jemari dan menempel di telinga Tiominar.

TAIK KUCING yang selama ini dihinakan orang kepadanya sekarang sudah menempel manis ditubuh Tiominar. Inilah hasil jerih payahnya berpuluh puluh tahun bercocok tanam di sawah, di bawah terik matahari dan diguyur hujan. Tiominar tidak peduli dengan dirinya sendiri pada saat itu, tetapi khusus untuk peristiwa pelantikan anak gadisnya ini, Tiominar harus sangat peduli lantaran dirinya adalah seorang NYONYA BESAR.

...

Tiominar dan keluarga memasuki ruangan auditorium yang cukup luas. Tiominar merinding, tidak pernah membayangkan bisa berada di tempat seperti itu. Tak terasa air matanya menetes, saat ia berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan panitia.

Sambil berjalan saat hendak memasuki ruang auditorium, anak bungsu Tiominar mengingatkannya agar anak sulungnya diberitau bahwa mereka juga ikut pada acara itu. Anak bungsunya juga meminta, agar diberi kesempatan untuk photo bersama.

Mendengar anak bungsunya Tiominar memastikan ;
“selesai acara nanti kita foto keluarga ya sayang, supaya kamu bisa seperti kakak mu”

Di ruang auditorium, air mata Tiominar semakin tidak terbendung saat ia mendengar nama anak gadisnya dipanggil. Tak henti-hentinya Tiominar mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala kasih-Nya kepada Tiominar.

Tiominar segera berhenti dari tangisnya. Ia kaget bukan kepalang, merasa tangannya dicengkram sangat kuat. Ia menoleh dan melihat suaminya meneteskan air mata. Tiominar berkata dalam hati ;
 “ahhay ...  bisa juga bapak-bapak meneteskan air mata ?”

Suaminya memeluk Tiominar sambil menangis seperti anak kecil menangis sesenggukan, dan meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Secara perlahan Tiominar mendorong tangan, dan melepaskan pelukan suaminya, dan berkata ;
“Besok sajalah setelah pulang ke kampong, barulah kita bermaaf-maafan. Hari ini aku benar benar ingin menikmati diriku sebagai NYONYA BESAR”

...

Begitulah suami Tiominar menyadari kesalahannya setelah anak gadisnya dapat meraih titel sarjana. Dia bertobat saat gajinya sudah habis untuk menutupi utang judi selama ini. Tetapi Tiominar sungguh murah hati. Baginya tidak ada kata terlambat, bagi orang yang mau bertobat. Apalagi pria itu adalah suaminya sendiri.

Tiominar tetap memaafkan, setelah perbuatan suaminya yang sungguh tak bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga. Bagi Tiominar, seperti apapun situasi dan kondisi suami saat ini, dia tetaplah suaminya. Dia tetaplah menjadi ayah dari anak-anaknya. Itulah sebabnya, sesakit apapun suami memperlakukan dirinya selama ini, Tiominar tidak pernah menghasut anak-anaknya untuk membenci ayah mereka.

Merasakan kebaikan istrinya berperilaku, suatu saat suami Tiominar berkata ;
“Tidak salah aku memilih dan menjadikanmu ist….

Belum selesai suaminya bicara Tiominar langsung memotong ;
“aku yang salah memilihmu menjadi suamiku”

Suaminya berkata lagi :
“Kau hebat mak… maafkan aku atas kesalahan ku..”

Tiominar menjawab pernyataan suaminya itu dengan mengatakan bahwa bukan karena dia hebat, tetapi dia kuat karena selama itu Tiominar sudah memposisikan dirinya sebagai seorang janda.

Mendengar pernyataan Tiominar, spontan suaminya memeluk Tiominar dan berkali-kali berkata ;
“Aku minta maaf dan aku mau memperbaiki diriku”

Tiominar mendorong tangan, dan berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya. Tetapi pelukan suaminya semakin erat. Semakin keras Tiominar mendorong tangan suaminya, terasa semakin erat suaminya memeluk Tiominar.

Sambil memeluk Tiominar dengan erat, suaminya berkata lirih ;
“Aku minta maaf NYONYA BESAR, aku minta maaf”

Mendengar suaminya berkata seperti itu, pecahlah tawa Tiominar. Ia tertawa sebagai bentuk rasa puasnya, setelah sekian lama ia menderita. Ia tertawa bukan berarti merasa puas sebagai ungkapan terbalasnya sebuah dendam, tetapi ia merasa puas bahwa pada akhirnya semuanya kembali ke jalan yang sesungguhnya.

...

Sesuai dengan sumpahnya, keempat anaknya sungguh sudah sampai kepada cita-cita. Mereka telah mendapat title sarjana dan SUMPAH Tiominar sudah terpenuhi, untuk menjadi NYONYA BESAR sebanyak empat kali.

Patutlah Tiominar bersyukur, walau ia memiliki suami yang tidak bertanggung jawab, tetapi Tiominar diberi empat orang anak yang TAU DIRI. Timinar berharap, semoga kisahnya ini bisa menguatkan dan menjadi inspirasi bagi setiap ibu  yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan hidup.


SEMOGA BERMANFAAT ... !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar