Perkawinan dua insan, laki-laki dan
perempuan adalah satu kebutuhan bagi kelangsungan hidup manusia. Walau pada
kenyataannya, tidak sedikit manusia menjalani hidup dalam kesendirian, tanpa perkawinan
sepanjang masa.
Mereka yang memutuskan untuk hidup
berpasangan, sudah pasti menginginkan perkawinan mereka berjalan dengan baik,
langgeng maju bersama cinta menuju hari tua, kemudian berakhir
dengan bahagia. Tetapi tak semua pasangan yang dikawinkan dalam janji
pernikahan berjalan dengan mulus. Dipastikan setiap pasangan yang telah
resmi menjadi pasangan suami istri akan mengalami cobaan.
Mereka dihadapkan pada berbagai masalah, baik
masalah sepele maupun masalah besar. yang berusaha menggangu perkawinan
itu. Sebahagian perkawinan itu selamat sampai tujuan, sebagian lainnya
harus berakhir dengan kepedihan, lalu meratapi perkawinan yang
tumbang diterjang badai, kemudian jatuh berantakan dan hancur
berserakan.
Tiominar ... demikian nama seorang
wanita yang mengharapkan perkawinan dengan suaminya selalu dalam kebahagiaan, tetapi
harus menerima kenyataan, karena perkawinannya keluar dari cita-cita semula.
Tiga bulan setelah ikatan perkawinan
diresmikan, Tiominar telah mengalami tekanan yang luar
biasa dari suami yang dia cinta dengan sepenuh hati. Tiga puluh
tahun usia perkawinan mereka, hampir setiap hari, ia di caci-maki, ditampar,
dipukul, bahkan ditendang oleh suaminya. Semua peristiwa itu ia terima dengan tabah.
Tak terhitung masukan berupa ajakan, perintah
bahkan cemoohan ia terima dari saudara, sahabat bahkan dari orang
yang sama sekali tak ia kenal, menyarankan Tiominar untuk
meninggalkan suaminya. Semua itu ia tepis dengan tidak menjawab semua saran bernada
seperti itu. Dia tetap pada pendirian, berpegang teguh pada janji perkawinan,
“SETIA DALAM SUKA MAUPUN DUKA, TAK BERCERAI KECUALI MAUT YANG MEMISAHKAN”.
Penderitaan Tiominar, yang ia alami
hampir disepanjang usia perkawinannya, ia bebaskan hanya dengan seuntai do’a ;
“Aku tahu Tuhan, Engkau merestui pilihanku
karena Engkau tahu aku kuat dengan semua perlakuan suamiku”.
Hanya dengan seuntai do’a itu, Tiominar menjalani
hidup perkawinannya selama tiga puluh tahun. Selama itu pula, Tiominar mengalami
siksa yang luar biasa, dari suami yang dia cinta dengan segenap jiwa dan raga.
Derita Tiominar tidak berhenti
sebatas tindak kekerasan berupa benturan pisik yang telah dilakukan
suaminya. Selama lima tahun ia dihadapkan kepada derita baru, melayani suami
yang hidup dalam ketidak berdayaan. Stroke total, mengharuskan suaminya hidup
terbujur kaku sepanjang masa di tempat tidur.
Selama lima tahun pula, suami Tiominar hanya
mampu berkomunikasi melalui desah nafas dan linangan air mata saja. Tampaknya
suami Tiominar menyesali semua perbuatan yang telah dia lakukan terhadap dirinya
yang luar biasa tangguh itu. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, waktu tak mungkin dikembalikan lagi.
Ditahun ketiga puluh, penderitaan Tiominar diatas
perkawinannya dengan seorang pria tak bernurani, kemudian berhenti. Di usia
lima puluh dua tahun, suami yang dia cinta akhirnya pergi untuk selamanya
akibat stroke total, yang diderita suaminya selama lima tahun. Tiominar melepas
kepergian suaminya dengan linangan air mata, pertanda cinta luar biasa. Tiominar sungguh menjadi
wanita yang setia, mengabdi pada suaminya dengan memberikan pelayanan
penuh tanpa batas.
Sepeninggal suaminya, Tiominar tergolong menjadi
wanita paling berbahagia di dunia. Sembilan putera dan puterinya, saling
berebut agar Tiominar mau tinggal di rumah anak atau menantunya. Melimpah
kasih sayang kemudian ia terima dari anak dan menantu, serta dari
cucu-cucunya. Bahkan sanak saudara juga menawarkan kasih sayang untuk Tiominar.
Di usianya yang ke sembilan puluh empat, Tiominar kembali
pada Sang Khalik dengan senyum tersungging di sudut
bibirnya, pertanda ia pergi penuh dengan kebahagiaan.
Tindak kekerasan seringkali mewarnai
perjalanan hidup rumah tangga. Kebanyakan dari peristiwa itu, dilakukan kaum
pria kepada istrinya. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi kaum pria,
untuk tidak memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Perempuan dipilih untuk
dijadikan istri, tentu alasannya adalah cinta. Cukup aneh jika pada zaman
digital ini, dikatakan sebuah perkawinan terjadi bukan karena cinta.
Cinta memang butuh pengorbanan, tetapi tidak
untuk dijadikan korban ... !!!
CATATAN :
Cerita ini fiktif. Nama dan tempat serta
hal-hal yang dianggap mirip dengan kehidupan nyata, hal itu terjadi dengan
sendirinya. Tidak ada maksud untuk menyindir ataupun berusaha untuk menyakiti
hati siapapun. Semoga artikel ini bermanfaat, agar setiap keluarga dapat
memaknai kesetiaan dan kebahagiaan dengan arti yang sesungguhnya.
SALAM GEMILANG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar