Pasca pernikahannya, Johan merasa bahwa ia
sungguh memperhatikan Amara istrinya, dan menurutnya ia mencintai istri dan
juga anak-anaknya. Baginya Amara adalah wanita yang baik dan bukan tipe wanita
yang suka berlebihan.
Johan adalah anak ketiga dari
lima bersaudara dan laki-laki satu satunya. Sementara Amara istrinya
yatim piatu, hanya berdua dengan adiknya.
Jika Johan mau jujur, ia tau
istrinya berkata yang sesungguhnya. Amara berkata apa adanya tentang kedua
orang tua Johan dan juga adik-adiknya. Johan tau, adiknya yang sudah
berkeluarga saja sering tidur dan makan di rumah bersama anak-anak bahkan
suaminya. Kadang jika akan pulang ke rumahnya, Johan tau adiknya itu juga
membawa beras atau yang lainnya.
Hari itu perusahan tempat Johan bekerja menang tender. Johanpun kelimpahan bonus yang lumayan besar jumlahnya dan pasti bisa digunakan untuk membuat rumah sederhana impian Amara istrinya. Lepas jam kantor Johanpun bergegas ke ruko ingin berjumpa belahan jiwanya.
Tiba di ruko Johan menyapa karyawan, lalu bergegas menuju kamar tidur tempat dimana Amara berada dan membuka pintu kamar pelan sekali karena Johan ingin mengejutkannya. Tampak oleh Johan, Amara meletakkan kepala di atas tangan di meja. Johan memegang pundak Amara tiba-tiba, berusaha untuk mengejutkannya. Tetapi sebaliknya malah Johan yang terkejut, ternyata pakaiannya masih basah karena kehujanan. “Ya ampun. Hujan sudah berhenti hampir dua jam yang lalu” pikir Johan. “Mami”, Johan memanggil sambil membalikkan tubuh Amara.
Bukanlah hal yang salah jika tinggal bersama mertua atau saudara ipar. Tapi ada baiknya mengetahui peribahasa “Yang jauh dikenang yang dekat dimusihi.” Jadi alangkah baiknya jika membina rumah tangga kecil kita dengan tertatih namun berujung nikmat dan bahagia. Karena didalamnya akan kita temukan begitu banyak kejutan dan cinta. Keluarga memang penting, ibu, ayah, kakak, adik, tapi jangan sampai karena cinta kita pada mereka kita melupakan cinta dan tanggung jawab pada istri.
SALAM
GEMILANG.
Selamat Membaca ... !!
Johan berpendapat, dalam rumah tangga ia
tidak pernah ribut dengan istrinya. Jika hanya ribut karena masalah sepele,
baginya hal itu biasa saja. Kalau ribut karena meletakkan pakaian kotor dengan
sembarangan, bertengkar karena membuat sepatu berserakan di rak, baginya
peristiwa itu bukanlah hal yang patut untuk dikhawatirkan.
Bagi Johan semuanya baik-baik saja, sebab
sekalipun hati istrinya dalam suasana yang terburuk, istrinya tetap mengerjakan
ketika dimintai tolong oleh Johan. Lalu ketika istrinya hanya cemberut ketika
Johan lupa pada janji untuk menghantarnya ke pasar, bagi Johan hal itu
wajar-wajar saja.
Satu ketika, Amara membelikan arloji bermerk
sebagai hadiah ulang tahun bagi Johan, hasil menabung sedikit demi sedikit
sejak beberapa tahun silam. Tetapi Johan menolak menerima hadiah itu dengan
alasan, mengapa istrinya menitipkan uang kepada temannya hanya untuk membeli
arloji itu.
Johan merasa dipermalukan sebagai laki-laki,
karena temannya terpaksa pura-pura bertanya kepada Johan, yang mana arloji yang
paling bagus diantara dua pilihan, padahal sebenarnya arloji itu untuknya.
Johan tidak pernah berpikir bahwa istrinya Amara, hanya berusaha untuk
menyenangkan hati Johan. Ia tidak pernah berpikir bahwa istrinya hendak membuat
kejutan untuk Johan. Tentu saja Amara sangat kecewa dengan sikap Johan.
Kehidupan rumah tangga Johan dan Amara,
bukanlah pasangan muda yang banyak mendapat harta dari orangtua sebagai warisan.
Mereka merintis segalanya dari titik nol, walau sesungguhnya mereka masih
tinggal seatap dengan orang tua Johan. Namun patut disyukuri, tambah hari
secara perlahan status keuangan mereka terus meningkat, hingga Johan kemudian
diterima bekerja di perusahaan swasta nasional.
Tujuh tahun sudah usia pernikahannya dengan
Amara, Johan merasa rumah tangga mereka baik-baik saja, walau sebenarnya
berulangkali Amara meminta kepada Johan untuk tinggal terpisah dari orang tua,
karena cekcok yang sering terjadi antara Amara dengan kedua orang tua dan
adik-adik Johan. Tetapi Johan tidak pernah sungguh-sungguh menjadikan itu
sebagai perhatian. Bagi Johan, rumah belumlah terlalu penting sebab masih bisa
tinggal bersama orang tua.
Walaupun telah bekerja di perusahaan
ternama, gaji Johan habis untuk membayar cicilan pinjaman bank, cicilan kredit
mobil, membantu biaya sekolah adiknya dan memberi ibunya setiap bulan sebagai
bakti kepada orang tua, karena Johan bisa bekerja di perusahaan ternama itu
berkat jasa orang tuanya.
Sementara itu Amara istri Johan menekuni
usaha menjahit, hasilnya hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga, termasuk
orangtua dan adik-adik Johan, ditambah biaya internet, listrik, arisan dan lain
sebagainya. Menurut Johan istrinya tidak pernah marah, walau ia tidak mampu
memberikan sebagian uang hasil gaji, seperti Johan memberi sebagian gajinya
kepada ibunya secara rutin.
Tahun berlalu dan berganti dengan yang baru,
Johan merasa rumah tangganya tampak berjalan baik-baik saja. Johan tidak
menyadari, di dalam rumah tangganya sedang terjadi masalah, yang tidak dia
ketahui karena mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan jarang ada di rumah.
Pada setiap kesempatan, Amara selalu
mengutarakan isi hatinya kepada Johan saat menjelang tidur, bercerita dengan
suara perlahan sambil berurai air mata. Amara mengeluhkan ibu Johan, ayah dan
juga adik Johan. Tetapi Johan hanya mengusap kepala Amara, dan minta untuk
bersabar. Sungguh, Johan tidak pernah benar-benar mendengarkan Amara. Johan
beranggapan, hal itu bukanlah masalah yang besar.
Dilain pihak, ketika Amara sedang tidak di
rumah, ibu Johan justru mengambil kesempatan dan mengeluhkan Amara kepada
Johan. Ibu Johan menguraikan berbagai keburukan Amara, mengeluhkan ini dan itu,
lalu meminta Johan untuk menasehati Amara istrinya. Johan hanya menjawab, “Ya bu ... Nanti aku kasih tau”
Rupanya Johan lebih mendengar ibunya. Dan
saat kesempatan untuk bicara ada, Johan meminta istrinya supaya bisa bersikap
lebih baik pada orang tua dan adik-adiknya. Mendengar itu Amara menjadi sedih,
lalu bercerita sambil menangis; “
Papi gak di rumah, papi gak tau gimana ibu, papi gak tau gimana ayah, papi gak
tau gimana adik papi, mami udah gak sanggup pi, mami pengen tinggal di rumah
sendiri”. Kembali Johan mengusap kepala istrinya, lalu meminta
untuk bersabar.
Tentu saja adik Johan meminta dari ibunya,
bukan dari Amara istrinya. Johan tau betul, istrinya berjuang dengan sangat
hemat untuk mencukupi semua kebutuhan mereka beserta kedua orang tua dan
adik-adik Johan.
Johan mulai menyadari kalau Amara istrinya
sudah mulai lelah, baik dari sisi psikis maupun sisi financial. Johan mulai
menyadari bahwa uang yang mereka hasilkan hanya habis berputar disekitar situ
saja. Mereka bahkan tidak memiliki tabungan dan belum punya rumah sendiri.
Adapun mobil, masih dalam status cicilan dan ruko kecil tempat istrinya
menjalankan usaha menjahit. Hanya itu. Johan sebagai kepala keluarga, belum berbuat
apapun terhadap anak dan istrinya.
Akhirnya hal buruk itupun benar-bernar
dimulai. Suatu ketika, ibu Johan membuka pembicaraan tentang uang bulanan yang
selalu ia terima dari Johan. Ibunya bicara kepada Johan dengan suara melengking; “Tolong bilang ke istrimu jangan
dibahas-bahas lagi tentang uang bulanan itu. Sekarang ini, gak ada lagi orang
tua yang bisa bantu anaknya masuk kerja ke perusahaan sebagus itu. Kamu itu
beruntung.” Johan menjawab ibunya ; “ Amara gak pernah bilang apa-apa ke aku bu”. Tetapi ibunya
terus berteriak; “Kamu kasi
berapapun gak akan bisa balas apa yang udah orang tua
berikan.” ... “Bu, Amara gak pernah marah atau iri kok” Jawab
Johan. Tetapi ibunya terus mengucapkan kata-kata dengan suara keras.
Saat keributan itu terjadi, Amara sedang di
kamar menyiapkan pakaian untuk Johan, dan akhirnya keluar karena mendengar
suara ribut dan berkata ; “Ada apa ? “. Johan menjelaskan apa saja yang
telah ibunya katakan, sementara itu ibu Johan terus bicara, hingga akhirnya
Amara menjawab; “Memang ibu gak
sayang pada Amara”. Kemudian Amara langsung masuk ke dalam kamar
meninggalkan Johan dan ibunya. Kemudian Johan berkata ; “Kalau memang ibu gak suka lagi aku di rumah
ini, maka aku bersama anak dan istri akan pergi.” Ibu Johan
tertegun setelah Johan menjawab.
Pada satu kesempatan, Amara istri Johan
dijemput temannya dan pergi keluar bersama Oscar putera mereka. Menjelang sore
Amara dan Oscar pulang dan langsung menuju kamar. Amara terkejut hatinya
dipenuhi berbagai pertanyaan, ketika ia menemukan sepucuk surat terletak di
atas tempat tidur. Surat itu dari ibu Johan, yang isinya ; “ Mulai hari ini saya tidak kenal kamu lagi.
Saya memang tidak pernah menyayangi kamu dan kamu bukan menantu saya lagi “.
Amara memotret surat itu dan mengirimkannya
kepada Johan lewat BBM. Johan sangat terkejut membaca surat itu, rasanya
seperti disambar petir di siang bolong. Istri Johan langsung pergi ke luar
bersama Oscar anak mereka.
Dikantornya, Johan sangat tidak tenang pasca
membaca surat ibunya kepada Amara, yang ia dapatkan melalui BBM. Johan bisa
merasakan, jika wanita lain mungkin istrinya akan kembali ke rumah orang
tuanya. Namun Amara pulang kemana. Adiknya saudara satu-satunya, tinggal di
kota lain yang jaraknya sangat jauh. Menimbang beratnya derita yang ditanggung
istrinya, tanpa disadari Johan menitikkan air mata. Ingin segera pulang, namun
pekerjaan kantor masih sangat banyak. Akhirnya, masalah itu berlalu begitu saja
dari pikiran Johan, hingga jam kantor usai.
Sesampainya di rumah, Johan tidak menemukan
istrinya. Johan menelepon dan menanyakan dimana Amara berada. Johan membujuk
Amara agar pulang, dan menjelang malam Amara dan Oscar putra mereka tiba di
rumah.
Malam itu juga, Johan dan Amara istrinya
serta kedua orang tua Johan berkumpul, untuk membicarakan permasalahan yang
terjadi. Johan yang menyadari ibunya adalah sumber permasalahan, memulai
pembicaraan dengan berpanjang-panjang. Tampaknya ibu Johan enggan untuk
mengakui, bahwa permasalahan itu berawal darinya. Tentu saja ego orang tua
muncul dan sudah pasti tidak akan mau jika harus mengaku salah di hadapan anak
dan menantunya. Amara dan ayah Johan diam saja, tetapi ibu Johan terus
berbicara ini dan itu serta banyak hal lain yang semuanya hanya untuk
memojokkan Amara istri Johan.
Akhirnya Johan bertanya ; “Lalu, ibu maunya apa ?”. Ibu
Johan menjawab masih saja sekitar memojokkan Amara. Ibu Johan bilang, supaya
istri Johan merubah sifatnya. Ibu Johan tidak akan makan, karena istri Johan
tidak rela, tidak ikhlas. Johan kemudian bilang; “ Kalau ibu tidak mau makan, itu berarti ibu tidak menghargai hasil
jierih payahku. Lebih baik aku gak usah tinggal di rumah ini lagi ”.
Ibu Johan kembali bilang, “ Aku gak makan karena istrimu gak rela.
Istrimu harus bersikap baik kepada adik-adikmu. Dan jangan dibahas lagi masalah
uang bulanan, aku malu jika orang lain tau. Dan kalau kamu sampai pergi
meninggalkan rumah ini, aku tidak akan mau menginjakkan kakiku dirumahmu sebagus
atau semewah apapun rumahmu “.
Saat itulah Johan melihat Amara istrinya
meneteskan airmata. Airmata itu trus saja mengalir tak tertahan lagi oleh
Amara. Meski berusaha menangis tanpa suara, tampak sekali bahwa ia merasa
sedih, terpukul dan kecewa serta tersiksa bercampur menjadi satu.
Ayah Johan yang sedari tadi diam saja
akhirnya buka suara dan berkata, kalau mereka akan sangat malu jika Johan
beserta anak dan istri sampai pergi meninggalkan rumah. Johan menanggapi ucapan
ayahnya bahwa semua keputusan ada ditangan ibunya. Lalu ibu Johan bilang
; “ Jangan pergi “.
Johan mengira kalau masalah malam itu telah
terlupakan. Setahun lebih waktu telah berlalu, Johan berpikir semua kembali
baik-baik saja. Tapi ternyata Johan salah. Amara istri Johan berubah menjadi
lebih pendiam, lebih sering tiduran dikamar atau main dengan Oscar anak mereka.
Amara jarang sekali tertawa, bercanda seperti dulu. Johan menyangka, Amara
begitu sebagai upaya untuk berusaha menjadi lebih baik.
Amara tidak pernah lagi merengek minta
dibuatkan rumah, tidak pernah minta di antar ke supermarket, arisan, atau
mengajak keluar saat weekend. Bahkan jika Johan mengajak pergi ke kondangan
Amara menjawab, “ Papi saja ya ..
mami capek, papi saja ya .. mami ngantuk, papi saja ya .. mami masih ada
kerjaan ”. Dan masih banyak alasan lain untuk menolak, agar tidak
pergi keluar bersama Johan. Johan masih berpikir memang begitu
keadaannnya.
Johan bahkan tidak menyadari jika istrinya
menjadi lebih kurus, matanya sembab karena berusaha menyembunyikan kesedihan
dari Johan. Suatu hari Oscar putra Johan pernah berkata ; “ Kita kalau mau makan selalu bilang, makan
yah, makan bu, makan oma, makan opa, makan aunty, tapi kok Oscar gak pernah
denger ibu bilang gitu ya yah..? ”.
Aku tersentak dan berkata berusaha tersenyum
; “ Ibu kan sekarang gak mau
bicara kuat-kuat sayang, mungkin waktu ibu makan lagi gak ada siapa-siapa “. Oscarpun
tersenyum, mengangguk. Tapi Johan jadi terpikir dengan kata-kata anaknya.
Selesai makan Johanpun langsung masuk ke kamar menghampiri istrinya yang memang
lagi tidak enak badan, dan menanyakan apa ia sudah makan. Lalu bertanya mau
dibelikan apa. Amara hanya tersenyum dan menggeleng lalu berkata ; “ Mami tidak mau apa-apa, mami sudah kenyang
“.
Bebera bulan berlalu, kota tempat Johan dan
keluarga tinggal dituruni hujan yang sangat lebat. Memang saat itu musim hujan
sedang berlangsung. Tapi hari itu betul-betul lebat bahkan beberapa pohon tua
di area perkantoran tempat Johan bekerja sampai tumbang. Johan berusaha
menelepon istrinya namun tidak di angkat. Akhirnya Johan menelpon ke ruko dan
menanyakan ke karyawan apakah Amara ada disana, dan karyawan menjawab ; “Ada pak, tapi ibu didalam baru datang
setengah jam yang lalu sambil basah kuyup pak”. “Oh ... ya sudah kalau begitu “,
sahutku. “ Ada pesan pak ? ”. Lanjut
karyawan. “Paling nanti saya mau
jemput ibu. Gak perlu bilang ya mbak, ada surprise soalnya “. Kataku
mengingatkan. “ Baik pak “. Jawab
karyawan.
Hari itu perusahan tempat Johan bekerja menang tender. Johanpun kelimpahan bonus yang lumayan besar jumlahnya dan pasti bisa digunakan untuk membuat rumah sederhana impian Amara istrinya. Lepas jam kantor Johanpun bergegas ke ruko ingin berjumpa belahan jiwanya.
Tiba di ruko Johan menyapa karyawan, lalu bergegas menuju kamar tidur tempat dimana Amara berada dan membuka pintu kamar pelan sekali karena Johan ingin mengejutkannya. Tampak oleh Johan, Amara meletakkan kepala di atas tangan di meja. Johan memegang pundak Amara tiba-tiba, berusaha untuk mengejutkannya. Tetapi sebaliknya malah Johan yang terkejut, ternyata pakaiannya masih basah karena kehujanan. “Ya ampun. Hujan sudah berhenti hampir dua jam yang lalu” pikir Johan. “Mami”, Johan memanggil sambil membalikkan tubuh Amara.
Saat itulah Johan menyadari sesuatu yang
sangat buruk telah terjadi. Wajah istrinya Amara sangat pucat cenderung biru,
tangannnya sangat dingin bagaikan es. “Mamiiiiiiiiii” Johan menjerit panik, lalu membopong dan
membawa istrinya ke luar ruangan. Karyawan yang ada diluar pun kaget melihat
situasi itu. Johan langsung meminta salah satu karyawan untuk menyetir mobil,
sementara Amara berada di pangkuan Johan dan berusaha menyadarkan istrinya itu.
Johan tak henti-hentinya menangis, segala
pikiran dan bayangan buruk merasuk kedalam pikiran Johan. Air matanya berderai
tak terhankan jatuh membasahi wajah istrinya. Johan memeluknya dengan erat,
erat sekali. Pejalanan ke rumah sakit entah kenapa terasa begitu lama. Johan
tak tahan lagi. Johan ingin agar istrinya segera sadar, ingin dia tau kabar
gembira yang dia bawa. Johan ingin istrinya tau, betapa ia mencintainya. Johan
ingin istrinya bahagia. Johan ingin istrinya tersenyum. Johan tidak ingin Amara
bersedih ataupun menangis lagi. Johan ingin melihat senyum istrinya yang dulu, ketawanya
yang dulu, candaan nya yang dulu, yang hilang tanpa pernah Johan sadari.
“Mami maafkan papi mi ...
Maafkan papi ...... Maafkan papi ...... Maaafkan papiiiiiiiii
maafkaannnnn”..... !!!!!”. Johan menjerit sekeras-kerasnya, menyesalkan semua peristiwa itu.
Sudah dua jam Johan menunggu dokter
menangani istrinya. “Kenapa lama sekali mbak ?” tanya Johan pada perawat yang
keluar dari ruangan. “Sabar pak” jawab
perawat. Ya Allah ya Tuhanku, aku
mohon selamatkan dia Ya Tuhan. Dialah bidadariku Ya Allah. Aku sangat
mencintainya. Bagaimana mungkin aku dan anakku hidup tanpa dia, tanpa kasih
sayangnya”. Johan berdoa untuk istrinya. Ia merasa sangat sedih
sekali. Belum pernah Johan merasa sesedih itu.
Tapi bagi istrinya, inilah hidup yang ia
jalani selama ini. Namun Johan tak pernah mau mengerti dan tak pernah mau
merasakannya. Johan tak pernah tau, jika peristiwa ini tidak terjadi. Betapa
istrinya sangat menderita selama ini. “Ya Allah maafkan aku, aku mohon beri aku kesempatan”. Johan
sujud berdoa mohon pengampunan, untuk semua kesalahannya, dan minta untuk
diberi kesempatan.
Beberapa waktu berselang, tim dokter keluar
dan berkata ; “Maafkan kami pak,
nyawa istri bapak tidak tertolong. Istri bapak terserang hipotermia. Kita telah
berusaha, tetapi Tuhan berkehendak lain. Sekali lagi maafkan kami. ”. Dokter
menjelaskan dengan raut wajah sedih.
Seketika Johan lunglai tak berdaya dan
tubuhnya berubah menjadi dingin seperti es. Air mata Johan mengalir jatuh tak
tertahankan. “Bagaimana mungkin
dok ? Istri saya hanya kehujanan sebentar saja. Bagaimana mungkin ?” Johan
bertanya tidak percaya “Mungkin
saja pak, walaupun hanya kehujanan sebentar tapi bisa saja tubuh istri bapak
sedang dalam keadaan yang tidak fit, atau perutnya kosong, apalagi istri bapak
tidak segera mengganti pakaiannya yang basah setelah kehujanan”. Sahut
dokter.
“Ya Tuhaaaaaannnnn”, Johan menjerit keras ... Johan
tak berhenti menangis, tak berhenti memeluk istrinya yang telah kaku. Johan
menatap lekat wajah Amara, yang begitu teduh namun sayu. “Amiiii, aku mencintaimu sangat mencintaimu
sayang. Maafkan aku yang tak pernah mengerti. Maafkan aku yang tak pernah
paham. Tapi mengapa tak engkau beri aku kesempatan? Apa engkau sudah benar-benar
lelah? Apa memang sudah tak kuat lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Apa kamu
pikir aku akan kuat mejalani ini semua? Bagaimana dengan anak kita ?”
Pikiran Johan kembali menngenang semua hal
yang telah berubah pada istrinya setahun terakhir. “Seandainya saja aku menyadari bahwa semakin hari tubuhnya memang semakin
kurus, seandainya saja aku menyadari kata-kata Oscar putra kami”. Johan
menyesali semuanya.
Andai waktu dapat diputar,
pastilah aku tidak akan membiarkanmu tinggal lama-lama serumah dengan keluargaku.
Andai waktu dapat diputar pastilah dengan sungguh-sungguh akan kubangun rumah
impianmu sayang. Air mata ini, kesedihan ini, tak akan mampu menghapuskan semua
salahku. Amaraaaaaaaaa, sayangku”. Johan menangis tersedu-sedu untuk semua yang telah terlambat dan
tak akan terulang.
Artikel ini adalah pesan untuk para suami,
agar menghargai istri serta keberadaannya, kasihi dan cintailah dia sepanjang
hidup, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila ia telah
tiada, tidak ada suatu apapun yang dapat lebih baik dari dirinya.
Bukanlah hal yang salah jika tinggal bersama mertua atau saudara ipar. Tapi ada baiknya mengetahui peribahasa “Yang jauh dikenang yang dekat dimusihi.” Jadi alangkah baiknya jika membina rumah tangga kecil kita dengan tertatih namun berujung nikmat dan bahagia. Karena didalamnya akan kita temukan begitu banyak kejutan dan cinta. Keluarga memang penting, ibu, ayah, kakak, adik, tapi jangan sampai karena cinta kita pada mereka kita melupakan cinta dan tanggung jawab pada istri.
Begitupun dengan para orang tua, menantu
bukanlah benda yang patut dijadikan bahan omelan, mencela segala kekurangannya,
menciptakan keburukan menantu berdasarkan kebencian, menganggap mereka insan
yang tak pantas bicara pada mertua dan masih banyak lagi status buruk yang
sengaja disematkan hanya untuk tercapainya keinginan sepihak.
Keluarga adalah istana kecil kita, baiklah
itu disayangi, dibina, dibangun dengan cinta untuk menjadikannya istana yang
baik. Jadilah sebagai suami yang bijaksana, istri yang bijaksana, orang tua
yang bijaksana, adik atau kakak ipar yang bijaksana, bukan malah menjadi insan
yang suka pijak sana pijak sini.
Semoga bermanfaat ....
Bacaan yang sangat
menginspirasi untuk mengedukasi setiap keluarga, yang terkadang lupa kepada
hal-hal kecil, padahal sesungguhnya hal kecil itu sangat membahayakan. Artikel
ini di copas dari salah satu media sosial dan sangat bermanfaat.
Selamat Membaca ... !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar