Selasa, 25 Juni 2013

JANGAN TINGGALKAN AKU

Pasca pernikahannya, Johan merasa bahwa ia sungguh memperhatikan Amara istrinya, dan menurutnya ia mencintai istri dan juga anak-anaknya. Baginya Amara adalah wanita yang baik dan bukan tipe wanita yang suka berlebihan.


Johan berpendapat, dalam rumah tangga ia tidak pernah ribut dengan istrinya. Jika hanya ribut karena masalah sepele, baginya hal itu biasa saja. Kalau ribut karena meletakkan pakaian kotor dengan sembarangan, bertengkar karena membuat sepatu berserakan di rak, baginya peristiwa itu bukanlah hal yang patut untuk dikhawatirkan.


Bagi Johan semuanya baik-baik saja, sebab sekalipun hati istrinya dalam suasana yang terburuk, istrinya tetap mengerjakan ketika dimintai tolong oleh Johan. Lalu ketika istrinya hanya cemberut ketika Johan lupa pada janji untuk menghantarnya ke pasar, bagi Johan hal itu wajar-wajar saja.


Satu ketika, Amara membelikan arloji bermerk sebagai hadiah ulang tahun bagi Johan, hasil menabung sedikit demi sedikit sejak beberapa tahun silam. Tetapi Johan menolak menerima hadiah itu dengan alasan, mengapa istrinya menitipkan uang kepada temannya hanya untuk membeli arloji itu.


Johan merasa dipermalukan sebagai laki-laki, karena temannya terpaksa pura-pura bertanya kepada Johan, yang mana arloji yang paling bagus diantara dua pilihan, padahal sebenarnya arloji itu untuknya. Johan tidak pernah berpikir bahwa istrinya Amara, hanya berusaha untuk menyenangkan hati Johan. Ia tidak pernah berpikir bahwa istrinya hendak membuat kejutan untuk Johan. Tentu saja Amara sangat kecewa dengan sikap Johan.


Kehidupan rumah tangga Johan dan Amara, bukanlah pasangan muda yang banyak mendapat harta dari orangtua sebagai warisan. Mereka merintis segalanya dari titik nol, walau sesungguhnya mereka masih tinggal seatap dengan orang tua Johan. Namun patut disyukuri, tambah hari secara perlahan status keuangan mereka terus meningkat, hingga Johan kemudian diterima bekerja di perusahaan swasta nasional.


Tujuh tahun sudah usia pernikahannya dengan Amara, Johan merasa rumah tangga mereka baik-baik saja, walau sebenarnya berulangkali Amara meminta kepada Johan untuk tinggal terpisah dari orang tua, karena cekcok yang sering terjadi antara Amara dengan kedua orang tua dan adik-adik Johan. Tetapi Johan tidak pernah sungguh-sungguh menjadikan itu sebagai perhatian. Bagi Johan, rumah belumlah terlalu penting sebab masih bisa tinggal bersama orang tua.


Johan adalah anak ketiga dari lima bersaudara dan laki-laki satu satunya. Sementara Amara istrinya  yatim piatu, hanya berdua dengan adiknya.


Walaupun telah bekerja di perusahaan ternama, gaji Johan habis untuk membayar cicilan pinjaman bank, cicilan kredit mobil, membantu biaya sekolah adiknya dan memberi ibunya setiap bulan sebagai bakti kepada orang tua, karena Johan bisa bekerja di perusahaan ternama itu berkat jasa orang tuanya.


Sementara itu Amara istri Johan menekuni usaha menjahit, hasilnya hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga, termasuk orangtua dan adik-adik Johan, ditambah biaya internet, listrik, arisan dan lain sebagainya. Menurut Johan istrinya tidak pernah marah, walau ia tidak mampu memberikan sebagian uang hasil gaji, seperti Johan memberi sebagian gajinya kepada ibunya secara rutin.


Tahun berlalu dan berganti dengan yang baru,  Johan merasa rumah tangganya tampak berjalan baik-baik saja. Johan tidak menyadari, di dalam rumah tangganya sedang terjadi masalah, yang tidak dia ketahui karena mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan jarang ada di rumah.


Pada setiap kesempatan, Amara selalu mengutarakan isi hatinya kepada Johan saat menjelang tidur, bercerita dengan suara perlahan sambil berurai air mata. Amara mengeluhkan ibu Johan, ayah dan juga adik Johan. Tetapi Johan hanya mengusap kepala Amara, dan minta untuk bersabar. Sungguh, Johan tidak pernah benar-benar mendengarkan Amara. Johan beranggapan, hal itu bukanlah masalah yang besar.


Dilain pihak, ketika Amara sedang tidak di rumah, ibu Johan justru mengambil kesempatan dan mengeluhkan Amara kepada Johan. Ibu Johan menguraikan berbagai keburukan Amara, mengeluhkan ini dan itu, lalu meminta Johan untuk menasehati Amara istrinya. Johan hanya menjawab, “Ya bu ... Nanti aku kasih tau”


Rupanya Johan lebih mendengar ibunya. Dan saat kesempatan untuk bicara ada, Johan meminta istrinya supaya bisa bersikap lebih baik pada orang tua dan adik-adiknya. Mendengar itu Amara menjadi sedih, lalu bercerita sambil menangis; “ Papi gak di rumah, papi gak tau gimana ibu, papi gak tau gimana ayah, papi gak tau gimana adik papi, mami udah gak sanggup pi, mami pengen tinggal di rumah sendiri”. Kembali Johan mengusap kepala istrinya, lalu meminta untuk bersabar.


Jika Johan mau jujur, ia tau istrinya berkata yang sesungguhnya. Amara berkata apa adanya tentang kedua orang tua Johan dan juga adik-adiknya. Johan tau, adiknya yang sudah berkeluarga saja sering tidur dan makan di rumah bersama anak-anak bahkan suaminya. Kadang jika akan pulang ke rumahnya, Johan tau adiknya itu juga membawa beras atau yang lainnya.


Tentu saja adik Johan meminta dari ibunya, bukan dari Amara istrinya. Johan tau betul, istrinya berjuang dengan sangat hemat untuk mencukupi semua kebutuhan mereka beserta kedua orang tua dan adik-adik Johan.


Johan mulai menyadari kalau Amara istrinya sudah mulai lelah, baik dari sisi psikis maupun sisi financial. Johan mulai menyadari bahwa uang yang mereka hasilkan hanya habis berputar disekitar situ saja. Mereka bahkan tidak memiliki tabungan dan belum punya rumah sendiri. Adapun mobil, masih dalam status cicilan dan ruko kecil tempat istrinya menjalankan usaha menjahit. Hanya itu. Johan sebagai kepala keluarga, belum berbuat apapun terhadap anak dan istrinya.


Akhirnya hal buruk itupun benar-bernar dimulai. Suatu ketika, ibu Johan membuka pembicaraan tentang uang bulanan yang selalu ia terima dari Johan. Ibunya bicara kepada Johan dengan suara melengking;  “Tolong bilang ke istrimu jangan dibahas-bahas lagi tentang uang bulanan itu. Sekarang ini, gak ada lagi orang tua yang bisa bantu anaknya masuk kerja ke perusahaan sebagus itu. Kamu itu beruntung.” Johan menjawab ibunya ; “ Amara gak pernah bilang apa-apa ke aku bu”. Tetapi ibunya terus berteriak; “Kamu kasi berapapun gak akan bisa balas apa yang udah orang tua berikan.” ... “Bu, Amara gak pernah marah atau iri kok” Jawab Johan. Tetapi ibunya terus mengucapkan kata-kata dengan suara keras.


Saat keributan itu terjadi, Amara sedang di kamar menyiapkan pakaian untuk Johan, dan akhirnya keluar karena mendengar suara ribut dan berkata ; “Ada apa ? “. Johan menjelaskan apa saja yang telah ibunya katakan, sementara itu ibu Johan terus bicara, hingga akhirnya Amara menjawab; “Memang ibu gak sayang pada Amara”. Kemudian Amara langsung masuk ke dalam kamar meninggalkan Johan dan ibunya. Kemudian Johan berkata ;  “Kalau memang ibu gak suka lagi aku di rumah ini, maka aku bersama anak dan istri akan pergi.” Ibu Johan tertegun setelah Johan menjawab.


Pada satu kesempatan, Amara istri Johan dijemput temannya dan pergi keluar bersama Oscar putera mereka. Menjelang sore Amara dan Oscar pulang dan langsung menuju kamar. Amara terkejut hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan, ketika ia menemukan sepucuk surat terletak di atas tempat tidur. Surat itu dari ibu Johan, yang isinya ; “ Mulai hari ini saya tidak kenal kamu lagi. Saya memang tidak pernah menyayangi kamu dan kamu bukan menantu saya lagi “.


Amara memotret surat itu dan mengirimkannya kepada Johan lewat BBM. Johan sangat terkejut membaca surat itu, rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Istri Johan langsung pergi ke luar bersama Oscar anak mereka.


Dikantornya, Johan sangat tidak tenang pasca membaca surat ibunya kepada Amara, yang ia dapatkan melalui BBM. Johan bisa merasakan, jika wanita lain mungkin istrinya akan kembali ke rumah orang tuanya. Namun Amara pulang kemana. Adiknya saudara satu-satunya, tinggal di kota lain yang jaraknya sangat jauh. Menimbang beratnya derita yang ditanggung istrinya, tanpa disadari Johan menitikkan air mata. Ingin segera pulang, namun pekerjaan kantor masih sangat banyak. Akhirnya, masalah itu berlalu begitu saja dari pikiran Johan, hingga jam kantor usai.


Sesampainya di rumah, Johan tidak menemukan istrinya. Johan menelepon dan menanyakan dimana Amara berada. Johan membujuk Amara agar pulang, dan menjelang malam Amara dan Oscar putra mereka tiba di rumah.


Malam itu juga, Johan dan Amara istrinya serta kedua orang tua Johan berkumpul, untuk membicarakan permasalahan yang terjadi. Johan yang menyadari ibunya adalah sumber permasalahan, memulai pembicaraan dengan berpanjang-panjang. Tampaknya ibu Johan enggan untuk mengakui, bahwa permasalahan itu berawal darinya. Tentu saja ego orang tua muncul dan sudah pasti tidak akan mau jika harus mengaku salah di hadapan anak dan menantunya. Amara dan ayah Johan diam saja, tetapi ibu Johan terus berbicara ini dan itu serta banyak hal lain yang semuanya hanya untuk memojokkan Amara istri Johan.


Akhirnya Johan bertanya ;  “Lalu, ibu maunya apa ?”. Ibu Johan menjawab masih saja sekitar memojokkan Amara. Ibu Johan bilang, supaya istri Johan merubah sifatnya. Ibu Johan tidak akan makan, karena istri Johan tidak rela, tidak ikhlas. Johan kemudian bilang; “ Kalau ibu tidak mau makan, itu berarti ibu tidak menghargai hasil jierih payahku. Lebih baik aku gak usah tinggal di rumah ini lagi ”.


Ibu Johan kembali bilang, “ Aku gak makan karena istrimu gak rela. Istrimu harus bersikap baik kepada adik-adikmu. Dan jangan dibahas lagi masalah uang bulanan, aku malu jika orang lain tau. Dan kalau kamu sampai pergi meninggalkan rumah ini, aku tidak akan mau menginjakkan kakiku dirumahmu sebagus atau semewah apapun rumahmu “.


Saat itulah Johan melihat Amara istrinya meneteskan airmata. Airmata itu trus saja mengalir tak tertahan lagi oleh Amara. Meski berusaha menangis tanpa suara, tampak sekali bahwa ia merasa sedih, terpukul dan kecewa serta tersiksa bercampur menjadi satu.


Ayah Johan yang sedari tadi diam saja akhirnya buka suara dan berkata, kalau mereka akan sangat malu jika Johan beserta anak dan istri sampai pergi meninggalkan rumah. Johan menanggapi ucapan ayahnya bahwa semua keputusan ada ditangan ibunya. Lalu ibu Johan bilang ;  “ Jangan pergi “.


Johan mengira kalau masalah malam itu telah terlupakan. Setahun lebih waktu telah berlalu, Johan berpikir semua kembali baik-baik saja. Tapi ternyata Johan salah. Amara istri Johan berubah menjadi lebih pendiam, lebih sering tiduran dikamar atau main dengan Oscar anak mereka. Amara jarang sekali tertawa, bercanda seperti dulu. Johan menyangka, Amara begitu sebagai upaya untuk berusaha menjadi lebih baik.


Amara tidak pernah lagi merengek minta dibuatkan rumah, tidak pernah minta di antar ke supermarket, arisan, atau mengajak keluar saat weekend. Bahkan jika Johan mengajak pergi ke kondangan Amara menjawab, “ Papi saja ya .. mami capek, papi saja ya .. mami ngantuk,  papi saja ya .. mami masih ada kerjaan ”. Dan masih banyak alasan lain untuk menolak, agar tidak pergi keluar bersama Johan.  Johan masih berpikir memang begitu keadaannnya.


Johan bahkan tidak menyadari jika istrinya menjadi lebih kurus, matanya sembab karena berusaha menyembunyikan kesedihan dari Johan. Suatu hari Oscar putra Johan pernah berkata ; “ Kita kalau mau makan selalu bilang, makan yah, makan bu, makan oma, makan opa, makan aunty, tapi kok Oscar gak pernah denger ibu bilang gitu ya yah..? ”.


Aku tersentak dan berkata berusaha tersenyum ;  “ Ibu kan sekarang gak mau bicara kuat-kuat sayang, mungkin waktu ibu makan lagi gak ada siapa-siapa “. Oscarpun tersenyum, mengangguk. Tapi Johan jadi terpikir dengan kata-kata anaknya. Selesai makan Johanpun langsung masuk ke kamar menghampiri istrinya yang memang lagi tidak enak badan, dan menanyakan apa ia sudah makan. Lalu bertanya mau dibelikan apa. Amara hanya tersenyum dan menggeleng lalu berkata ; “ Mami tidak mau apa-apa, mami sudah kenyang “.


Bebera bulan berlalu, kota tempat Johan dan keluarga tinggal dituruni hujan yang sangat lebat. Memang saat itu musim hujan sedang berlangsung. Tapi hari itu betul-betul lebat bahkan beberapa pohon tua di area perkantoran tempat Johan bekerja sampai tumbang. Johan berusaha menelepon istrinya namun tidak di angkat. Akhirnya Johan menelpon ke ruko dan menanyakan ke karyawan apakah Amara ada disana, dan karyawan menjawab ; “Ada pak, tapi ibu didalam baru datang setengah jam yang lalu sambil basah kuyup pak”. “Oh ... ya sudah kalau begitu “, sahutku. “ Ada pesan pak ? ”. Lanjut karyawan.  “Paling nanti saya mau jemput ibu. Gak perlu bilang ya mbak, ada surprise soalnya “. Kataku mengingatkan.  “ Baik pak “. Jawab karyawan.

Hari itu perusahan tempat Johan bekerja menang tender. Johanpun kelimpahan bonus yang lumayan besar jumlahnya dan pasti bisa digunakan untuk membuat rumah sederhana impian Amara istrinya. Lepas jam kantor Johanpun bergegas ke ruko ingin berjumpa belahan jiwanya.

Tiba di ruko Johan menyapa karyawan, lalu bergegas menuju kamar tidur tempat dimana Amara berada dan membuka pintu kamar pelan sekali karena Johan ingin mengejutkannya. Tampak oleh Johan, Amara meletakkan kepala di atas tangan di meja. Johan memegang pundak Amara tiba-tiba, berusaha untuk mengejutkannya. Tetapi sebaliknya malah Johan yang terkejut, ternyata pakaiannya masih basah karena kehujanan. “Ya ampun. Hujan sudah berhenti hampir dua jam yang lalu” pikir Johan. “Mami”, Johan memanggil sambil membalikkan tubuh Amara.

Saat itulah Johan menyadari sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Wajah istrinya Amara sangat pucat cenderung biru, tangannnya sangat dingin bagaikan es. “Mamiiiiiiiiii” Johan menjerit panik, lalu membopong dan membawa istrinya ke luar ruangan. Karyawan yang ada diluar pun kaget melihat situasi itu. Johan langsung meminta salah satu karyawan untuk menyetir mobil, sementara Amara berada di pangkuan Johan dan berusaha menyadarkan istrinya itu.


Johan tak henti-hentinya menangis, segala pikiran dan bayangan buruk merasuk kedalam pikiran Johan. Air matanya berderai tak terhankan jatuh membasahi wajah istrinya. Johan memeluknya dengan erat, erat sekali. Pejalanan ke rumah sakit entah kenapa terasa begitu lama. Johan tak tahan lagi. Johan ingin agar istrinya segera sadar, ingin dia tau kabar gembira yang dia bawa. Johan ingin istrinya tau, betapa ia mencintainya. Johan ingin istrinya bahagia. Johan ingin istrinya tersenyum. Johan tidak ingin Amara bersedih ataupun menangis lagi. Johan ingin melihat senyum istrinya yang dulu, ketawanya yang dulu, candaan nya yang dulu, yang hilang tanpa pernah Johan sadari.


“Mami maafkan papi mi ...  Maafkan papi ...... Maafkan papi ...... Maaafkan papiiiiiiiii maafkaannnnn”..... !!!!!”.  Johan menjerit sekeras-kerasnya, menyesalkan semua peristiwa itu.


Sudah dua jam Johan menunggu dokter menangani istrinya. “Kenapa lama sekali mbak ?” tanya Johan pada perawat yang keluar dari ruangan. “Sabar pak” jawab perawat. Ya Allah ya Tuhanku, aku mohon selamatkan dia Ya Tuhan. Dialah bidadariku Ya Allah. Aku sangat mencintainya. Bagaimana mungkin aku dan anakku hidup tanpa dia, tanpa kasih sayangnya”. Johan berdoa untuk istrinya. Ia merasa sangat sedih sekali. Belum pernah Johan merasa sesedih itu.


Tapi bagi istrinya, inilah hidup yang ia jalani selama ini. Namun Johan tak pernah mau mengerti dan tak pernah mau merasakannya. Johan tak pernah tau, jika peristiwa ini tidak terjadi. Betapa istrinya sangat menderita selama ini. “Ya Allah maafkan aku, aku mohon beri aku kesempatan”. Johan sujud berdoa mohon pengampunan, untuk semua kesalahannya, dan minta untuk diberi kesempatan.


Beberapa waktu berselang, tim dokter keluar dan berkata ; “Maafkan kami pak, nyawa istri bapak tidak tertolong. Istri bapak terserang hipotermia. Kita telah berusaha, tetapi Tuhan berkehendak lain. Sekali lagi maafkan kami. ”. Dokter menjelaskan dengan raut wajah sedih.


Seketika Johan lunglai tak berdaya dan tubuhnya berubah menjadi dingin seperti es. Air mata Johan mengalir jatuh tak tertahankan. “Bagaimana mungkin dok ? Istri saya hanya kehujanan sebentar saja. Bagaimana mungkin ?” Johan bertanya tidak percaya “Mungkin saja pak, walaupun hanya kehujanan sebentar tapi bisa saja tubuh istri bapak sedang dalam keadaan yang tidak fit, atau perutnya kosong, apalagi istri bapak tidak segera mengganti pakaiannya yang basah setelah kehujanan”. Sahut dokter.


“Ya Tuhaaaaaannnnn”, Johan menjerit keras ... Johan tak berhenti menangis, tak berhenti memeluk istrinya yang telah kaku. Johan menatap lekat wajah Amara, yang begitu teduh namun sayu. “Amiiii, aku mencintaimu sangat mencintaimu sayang. Maafkan aku yang tak pernah mengerti. Maafkan aku yang tak pernah paham. Tapi mengapa tak engkau beri aku kesempatan? Apa engkau sudah benar-benar lelah? Apa memang sudah tak kuat lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Apa kamu pikir aku akan kuat mejalani ini semua? Bagaimana dengan anak kita ?”


Pikiran Johan kembali menngenang semua hal yang telah berubah pada istrinya setahun terakhir. “Seandainya saja aku menyadari bahwa semakin hari tubuhnya memang semakin kurus, seandainya saja aku menyadari kata-kata Oscar putra kami”. Johan menyesali semuanya.


Andai waktu dapat diputar, pastilah aku tidak akan membiarkanmu tinggal lama-lama serumah dengan keluargaku. Andai waktu dapat diputar pastilah dengan sungguh-sungguh akan kubangun rumah impianmu sayang. Air mata ini, kesedihan ini, tak akan mampu menghapuskan semua salahku. Amaraaaaaaaaa, sayangku”. Johan menangis tersedu-sedu untuk semua yang telah terlambat dan tak akan terulang.


Artikel ini adalah pesan untuk para suami, agar menghargai istri serta keberadaannya, kasihi dan cintailah dia sepanjang hidup, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila ia telah tiada, tidak ada suatu apapun yang dapat lebih baik dari dirinya.

Bukanlah hal yang salah jika tinggal bersama mertua atau saudara ipar. Tapi ada baiknya mengetahui peribahasa “Yang jauh dikenang yang dekat dimusihi.” Jadi alangkah baiknya jika membina rumah tangga kecil kita dengan tertatih namun berujung nikmat dan bahagia. Karena didalamnya akan kita temukan begitu banyak kejutan dan cinta. Keluarga memang penting, ibu, ayah, kakak, adik, tapi jangan sampai karena cinta kita pada mereka kita melupakan cinta dan tanggung jawab pada istri.

Begitupun dengan para orang tua, menantu bukanlah benda yang patut dijadikan bahan omelan, mencela segala kekurangannya, menciptakan keburukan menantu berdasarkan kebencian, menganggap mereka insan yang tak pantas bicara pada mertua dan masih banyak lagi status buruk yang sengaja disematkan hanya untuk tercapainya keinginan sepihak.


Keluarga adalah istana kecil kita, baiklah itu disayangi, dibina, dibangun dengan cinta untuk menjadikannya istana yang baik. Jadilah sebagai suami yang bijaksana, istri yang bijaksana, orang tua yang bijaksana, adik atau kakak ipar yang bijaksana, bukan malah menjadi insan yang suka pijak sana pijak sini.


Semoga bermanfaat ....


SALAM GEMILANG.


Bacaan yang sangat menginspirasi untuk mengedukasi setiap keluarga, yang terkadang lupa kepada hal-hal kecil, padahal sesungguhnya hal kecil itu sangat membahayakan. Artikel ini di copas dari salah satu media sosial dan sangat bermanfaat.


Selamat Membaca ... !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar